Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

RELASI NEGARA DAN MASYARAKAT DALAM DISKURSUS KONFLIK DI INDONESIA

Oleh Imam Taufiq


Banyak orang berpendapat bahwa konflik adalah identik dengan kekerasan. Pandangan ini dapat dipahami bahwa dalam realitas sosial setiap konflik sosial selalu diikuti dengan tindak kekerasan, misalnya pengrusakan tempat ibadah, tawur warga, perkelahian antar kelompok, pembakaran fasilitas umum yang kesemuanya sering berdampak pada hilangnyanya nyawa sebagain korban. Gambaran-gambaran seperti ini mengantarkan banyak orang memiliki pandangan bahwa konflik memang identik dengan kekerasan, atau setiap konflik berakhir dengan kekerasan dengan banyak korban menderita dan memilukan.

Gambaran serupa bahkan dikuatkan database KOSIMO Indicator for International Conflict yang mendiskripsikan bahwa dari tahun 1945-1999, terdapat 143 negara di dunia yang mengalami konflik. Dari jumlah 693 konflik yang terjadi di negara-negara tersebut, dapat dibagi dalam empat dan tipologinya masing-masing, yaitu latent conflict 149 kasus, non-violent crises sebanyak 155 kasus, violent-crises sebanyak 276 kasus dan war sebanyak 113 kasus. Database ini juga memperlihatkan bahwa konflik yang disertai dengan kekerasan merupakan konflik yang paling banyak terjadi di negara-negara tersebut yaitu sekitar 56,1 %. Data tersebut juga menunjukkan bahwa dari 389 kasus konflik yang melibatkan kekerasan, 73, 5% merupakan konflik internal. Semantara konflik-konflik internal tersebut sebagian besar terjadi di negara-negara yang kurang demokratis (90%), yang antara lain terjadi di negara-negara berkembang (69,9%), terjadi di luar daerah pertikaian Amerika Serikat-Uni Soviet (62,7%). Dilihat dari upaya penyelesaian konflik, konflik-konflik tersebut cenderung tidak menghasilkan keputusan apa-apa sekitar 73,5% dan cenderung berdampak pada kejatuhan rezim penguasa setempat (51,2%).

Indonesia yang merupakan negara multikultural dan multietnis, yang dihuni oleh beragam etnis, bahasa, agama, dan ideologi yang berbeda serta letak geografis antar-daerahnya karena dipisahkan oleh belasan ribu pulau, tidak dapat dilepaskan dari kecenderungan ini. Apalagi proses pembentukan negara bangsa (nation-state) Indonesia didasarkan atas konsensus bersama berbagai kelompok masyarakat yang ada. Mereka memiliki kesamaan pengalaman dan penderitaan akibat kolonialisme, yang memunculkan sentimen nasionalisme dan akhirnya terbentuklah sebuah negara. Pasca tumbangnya Orde Baru tahun 1998, muncul fenomena memprihatinkan berupa menguatnya eskalasi konflik-konflik lokal di berbagai wilayah di Indonesia. Transisi menuju demokrasi yang sesungguhnya disatu sisi memang telah memberikan kebebasan yang meluas di kalangan masyarakat, namun di sisi lain, justru menampakkan kerapuhan bangunan negara bangsa.

Konflik lokal banyak terjadi dimana-mana dan telah menimbulkan korban dan kehancuran tata sosial. Konflik di Sambas antara etnis Madura dan Dayak yang terjadi pada tahun 1999 misalnya, telah mengakibatkan 150 orang meninggal dan sekitar 10.000 orang menjadi pengungsi. Konflik Ambon menyebabkan tidak kurang 3.000 orang meninggal dunia. Konflik lainnya yang juga mengakibatkan dampat kematian dan kerugian yang besar adalah konflik Poso, Aceh, Papua, dan Maluku. Konflik-konflik yang terjadi di Indonesia tidak mudah untuk dipahami karena setiap konflik mempunyai penyebabnya sendiri, pola hubungan dan dinamika yang berbeda antara satu dan lainnya.


Teori-Teori Konflik

Para ahli telah mengungkapkan beraneka macam sebab-sebab terjadinya konflik. Paling tidak terdapat beberapa teori tentang konflik, yaitu: teori hubungan masyarakat, teori negosiasi prinsip, teori identitas, teori kesalahpahaman, teori transformasi dan teori kebutuhan manusia. Masing-masing teori ini tidak perlu dipertentangkan karena satu sama lainnya saling melengkapi dan berguna dalam menjelaskan berbagai fenomena konflik yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Teori hubungan masyarakat menjelaskan bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, adanya ketidakpercayaan dan rivalitas kelompok dalam masyarakat. Para penganut teori hubungan masyarakat memberikan solusi-solusi terhadap konflik-konflik yang timbul dengan cara: a) peningkatan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang bertikai; b) pengembangan toleransi agar masyarakat lebih bisa saling menerima keberagamaan dalam masyarakat.

Sementara teori negosiasi prinsip menjelaskan bahwa konflik terjadi karena posisi¬posisi para pihak yang tidak selaras dan adanya perbedaan-perbedaan di antara para pihak. Para penganjur teori ini berpendapat, bahwa agar sebuah konflik dapat diselesaikan, para pelaku harus mampu memisahkan perasaan pribadinya dengan masalah-masalah dan mampu melakukan negosiasi berdasarkan kepentingan dan bukan pada posisi yang sudah tetap.

Sedangkan teori identitas menjelaskan bahwa konflik terjadi karena sekelompok orang merasa identitasnya terancam oleh pihak lain. Penganut teori identitas mengusulkan penyelesaian konflik karena identitas yang terancam dilakukan melalui fasilitasi lokakrya dan dialog antar wakil-wakil kelompok yang mengalami konflik dengan tujuan mengidentifikasikan ancaman-ancaman dan kekhawatiran yang mereka rasakan serta membangun empati dan rekonsiliasi. Tujuan akhirnya adalah pencapaian kesepakatan bersama yang mengakui identitas pokok semua pihak.

Teori kesalah-pahaman antar budaya menjelaskan bahwa konflik terjadi karena ketidak-cocokan dalam berkomunkasi di antara orang-orang dari latarbelakang budaya yang berbeda. Untuk itu diperlukan dialog di antara orang-orang yang mengalam konflik guna mengenal dan memahami budaya masyarakat lainnya, mengurang streotipe yang mereka miliki terhadap pihak lain.

Teori transformasi menjelaskan bahwa konflik dapat terjadi karena adanya masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang mewujud dalam bidang-bidang sosial, ekonomi, dan politik. Penganut teori ini berpendapat bahwa penyelesaian konflik dapat dilakukan melalui beberapa upaya seperti: perubahan struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan, peningkatan hubungan dan sikap jangka panjang para pihak yang mengalam konflik serta pengembangan proses-proses dan sistem untuk mewujdukan pemberdayaan, keadilan, rekonsisiliasi dan pengakuan.

Teori kebutuhan manusia menjelaskan bahwa konflik dapat terjadi karena kebutuhan-kebutuhan manusia tidak dapat terpenuhi atau terhalangi atau merasa dihalangi oleh pihak lain. Kebutuhan atau kepentingan dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu: substantif (substantive), prosedural (procedural) dan psikologis (psychological). Kebutuhan substantif merupakan kebutuhan manusia yang berhubungan dengan kebendaan seperti uang, pangan, rumah, sandang atau kekayaan. Kebutuhan prosed ural merupakan kepentingan manusia yang berkaitan dengan tata cara dalam pergaulan masyarakat. Banyak orang merasa tersinggung jika ada perbuatan dari pihak lain yang dianggap tidak sesuai dengan tata cara yang diharapkan. Tidak terpenuhinya kepentingan prosedural seseorang atau kelompok orang dapat memicu lahirnya konflik. Kebutuhan psikologis berhubungan dengan non-material atau bukan kebendaan, seperti penghargaan dan empati. Bagi sebagian orang kebutuhan van bersifat non¬material sarna pentingnya dengan kebutuhan kebendaan. Misalkan dalam kasus pencemaran lingkungan atau kecelakaan lalu lintas, meskipun si pelaku sudah bersedia memberi ganti kerugian, korban masih menganggap perselisihan belum selesai sebelum adanya permintaan maaf dan penyesalan atas penderitaan yang menimpa korban akibat kegiatan si pelaku.

Salah satu faktor penunjang keberhasilan penyelesaian konflik adalah komuikasi, sebab komunikasi adalah pengungkapan atau penyampaian pikiran dan perasaan dari satu pihak kepada pihak lain. Komunikasi yang buruk di antara para pihak dapat mendorong dan meningkatkan intensitas konflik meskipun di antara mereka tidak terdapat perbenturan kebutuhan dan kepentingan. Seringkali manusia secara perorangan maupun kelompok tidak mampu menyampaikan pikiran-pikiran dan perasaannya kepada pihak lain dengan baik sehingga pihak lain menerima pesan-pesan yang salah. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi komunikasi para pihak adalah salah persepsi terhadap pihak lain, adanya pandangan-pandangan stereotipe di antara berbagai kelompok masyarakat.

Emosi merupakan tenaga penggerak dari setiap konflik. Jika orang selalu mampu berpikir dan berprilaku tenang, rasional dan obyektif, maka orang dapat memfokuskan diri pada bagaimana menyelesaian perbedaan-perbedaan di antara mereka melalui komunikasi yang efektif, sehingga konflik tidak akan berkembang menjadi tindak kekerasan. Namun, pada kenyataannya banyak orang yang tidak mampu mengendalikan emosinya, terutama emosi yang destruktif, karena emosi merupakan sesuatu yang inheren dalam diri manusia. Emosi yang moderat perlu disalurkan melalui komunikasi dengan pihak lain secara langsung atau melalui pihak lain.

Sebuah konflik yang timbul masa kini seringkali tidak terlepas dari peristiwa hubungan atau interaksi masa lalu para pihak yang terlibat konflik. Seringkali kita hanya memfokuskan pad a apa yang terjadi masa kini tanpa berusaha memahami persoalan interkasi para pihak pada masa lalu. Sebuah konflik mung kin terus hidup dan berlangsung bersamaan berjalannya waktu sehingga konflik itu sudah menjadi bagian yang terpisahkan dari para pihak.

Struktur merupakan faktor-faktor di luar diri para pihak, antara lain, keseimbangan maupun ketidakseimbangan kekuatan hukum, sosial, politik dan ekonomi, situasi atau lingkungan fisik, aturan-aturan yang berlaku, keterbatasan sumber daya. Sebagian orang menyatakan struktur pengaturan atau hukum, struktur kebijakan dan struktur ekonomi yang membuat sebagaian orang tetap dalam kemiskinan merupakan juga bentuk kekerasan.

Tata nilai berhubungan dengan keyakinan atau pandangan yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang tentang apa yang dianggap baik atau buruk maupun juga prinsip-prinsip apa yang seharusnya menjadi pedoman dan pegangan dalam hidup. Jika seseorang atau sekelompok orang memiliki keyakinan atau pandangan tertentu dan keyakinan atau pandangan itu diserang oleh pihak lain, maka mereka merasa dirinya diserang. Bagi sebagian orang sulit untuk melakukan kompromi-kompromi terhadap tata nilai yang dmilikinya karena berarti hal itu mengorbankan identitas mereka.


Pola Hubungan Negara dan Masyarakat

Menurut Ralf Dahrendorf konflik merupakan fenomena yang selalu hadir (inherent omni-presence) dalam setiap kehidupan manusia. Perbedaan orientasi dan kepentingan diantara individu dan kelompok masyarakat adalah suatu hal yang alamiah dan tidak dapat dihindarkan. Namun, bagi pihak-pihak yang menolak pandangan ini menyebutkan bahwa akan terdapat persoalan besar ketika sebagian kelompok mengekspresikan perbedaan dan kecenderungan-kecenderungan tersebut di luar koridor dan tata nilai yang demokratis, apalagi melalui cara-cara yang anarkhis dan penggunaan kekerasan pisik lainnya.

Terjadinya konflik sering disebabkan karena gagalnya upaya-upaya penghentian eskalasi kekerasan, atau dalam beberapa kasus disinyalir adanya indikasi kesengajaan oleh aktor-aktor negara. Asumsi kesengajaan ini disebabkan pada situasi konflik seringkali belum diperkuat oleh resolusi konflik, pengembalian hak-hak korban, tidak adanya perlucutan senjata dan senjata api masih dikuasai oleh pihak-pihak bertikai, atau hanya dihiasi oleh kegiatan-kegiatan serimonial perdamaian atau kesepahaman yang cenderung bersifat top-down daripada bottom-up sehingga hasilnya tidak terlalu memuaskan banyak pihak.

Pada dasarnya tahapan konflik dapat dilihat dalam beberapa tahapan. Menurut Moore ada tiga tahapan konflik, yaitu: konflik laten (latent conflicts), konflik yang mulai mengemuka (emerging conflicts) dan konflik yang telah mengemuka (manifest conflicts). Konflik laten adalah ketegangan-ketegangan yang belum sepenuhnya mengemuka dan belum mencapai eskalasi yang menempatkan para pihak dalam sebuah polarisasi yang tajam. Tidak saja pihak luar belum mengetahui adanya persoalan di antara para pihak, bahkan salah satu pihak, terutama pihak yang lebih kuat, seringkali tidak sadar kalau ada pihak lain yang merasa dirugikan oleh pihaknya. Adapun konflik yang mulai mengemuka adalah bilamana para pihak telah dapat diidentifikasi, para pihak telah menyadari ada persoalan di antara mereka yang perlu diselesaikan, masalah-masalah yang menjadi perselisihan telah dapat diidentifikasi. Akan tetapi, para pihak belum mampu menciptakan atau menemukan proses penyelesaian sengketa yang disepakati atau komunikasi di antara mereka belum terwujud. Konflik seperti ini sangat potensial mencapai eskalasi dan menimbulkan tindak kekerasan. Konflik yang telah mewujud adalah konflik-konflik dimana para pihak menyadari adanya perselisihan dan juga telah mulai melakukan komunikasi atau pembicaraan atau negosiasi di antara mereka, tetapi upaya pembicaraan dan negosiasi itu telah menemui jalan buntu, sehingga diperlukan kehadiran pihak ketiga yang netral untuk membantu para pihak mencari penyelesaian.

Setiap konflik senantiasa melibatkan kekuatan (power) di antara para pihak. Di dalam teori konflik, bentuk-bentuk kekuatan dapat berupa kekuatan memaksa (coercive power), kekuatan politik (political power), kekuatan sumber daya (resource power), kekuatan kewenangan (authoritative or positional power), kekuatan ekonomi (economic power), kekuatan kelompok (associational power), kekuatan memiliki informasi (informational power, expert power), kekuatan moral (moral power). Para pihak sering menggunakan kekuatan-kekuatan yang dimilikinya tersebut untuk menekan pihak lainnya. Kekuatan memaksa dapat dimiliki oleh pemerintah atau instansi pemerintah karena secara hukum pemerintah dapat mengerahkan satuan-satuan Kepolisian, TNI, Polisi Pamong Praja untuk menggunakan kekuatan memaksa.

Dalam banyak konflik, pihak yang merasa memiliki kekuatan ekonomi, politik dan otoritas seringkali mengabaikan atau tidak mau untuk mendengarkan dan memenuhi aspirasi pihak yang lemah. Akibatnya pihak yang merasa lemah atau yang dianggap lemah berupaya untuk menyuarakan aspirasi atau kebutuhannya dengan menggunakan kekuatan kelompok yang bersifat destruktif dengan melakukan tindak kekerasan dan perusakan sebagai bentuk penggunaan kekuatan memaksa. Konflik yang berkembang menjadi tindak kekerasan juga dapat terjadi dalam hal para pihak sama-sama merasa kuat dan memiliki sumber daya untuk memaksakan kehendak mereka pada pihak lawan. Kekuatan politik, kekuatan sumber daya, kekuatan wewenang dan kekuatan informasi lebih sering dikuasai atau dimiliki oleh instansi pemerintah dan perusahaan-perusahaan. Penduduk atau warga pada umumnya mengandalkan kekuatan kelompok dan kekuatan moral. Kekuatan kelompok mengambil bentuk dalam penggalangan solidaritas dalam menghadapi lawan-lawannya.

Sejalan dengan teori ini, Joel S. Migdal memperkenalkan teori state and society relations dalam menjelaskan posisi negara dan masyarakat dalam sebuah persoalan publik. Menurutnya, kemampuan suatu negara untuk mencapai perubahan di masyarakat memerlukan peran pemimpin mereka untuk membuat perencanaan negara, kebijakan publik dan tindakan aksi, termasuk juga kemampuan untuk masuk melibatkan masyarakat, mengatur hubungan sosial, dan pengelolaan sumber daya yang ada secara baik.

Negara yang kuat (strong state) memiliki ciri kemampuan yang tinggi untuk melengkapi perencanaan negara, kebijakan publik dan aksi, sementara negara yang lemah memiliki kemampuan yang rendah dalam kapasitas untuk masuk ke dalam masyarakat, membuat aturan sosial, mengumpulkan sumber daya dan menggunakan sumber daya sesuai dengan cara yang telah ditentukan.



Kuat atau lemahnya sebuah negara berkaitan dengan kemampuan untuk menerapkan kebijaksanaan sosial (to implement social policies) dan menggerakkan masyarakat (to mobilize the public) yang berkaitan dengan struktur sosial. Negara yang kuat mampu memerintah masyarakat dengan cara yang rinci (able to govern the details of most people’s lives in the society). Di negara dunia ketiga tidak begitu banyak pengendalian sosial (social control) dalam masyarakat tetapi lebih banyak pada persoalan distribusi dan sentralisasi. Keadaan negara yang kuat ini menghasilkan sentralisasi yang tinggi (highly centralized) dan keadaan yang serba tidak pasti (diffused). Ciri negara yang kuat adalah tingginya kontrol sosial dalam semua bidang kehidupan (the overall level of social control is high). Keadaan negara yang kuat menghasilkan struktur masyarakat yang elitis (pyramidal). Sebaliknya dalam suatu masyarakat yang kontrol sosialnya tersebar melalui berbagai organisasi sosial yang otonom menghasilkan yang kuat (strong societies). Masyarakat yang lemah (weak societies) memiliki ciri kontrol sosial dalam berbagai tingkatan kehidupan cenderung lemah (the overall level of social control is low). Negara yang lemah memiliki ciri lemahnya negara melakukan kontrol sosial dan masyarakat rendah dalam kepatuhan aturan sehingga menghasilkan keadaan yang kacau (anarchical). Masyarakat di dunia ketiga yang kuat cenderung tidak mudah mengalami pembusukan oleh negara, karena memiliki ketersediaan sumber daya teknik (sufficient technical resources), kemampuan manajerial (managerial abilities) dan pribadi yang setia (committed personnel).

Dari paparan diatas, dalam penanganan konflik tidak dapat dilepaskan hubungan antara negara dan masyarakat (dalam hal ini adalah kelompok masyarakat yang bertikai). Negara tidak akan mampu menyelesaikan masalah hanya berdasarkan kepentingan aparat, begitu pula masyarakat yang memiliki kepentingan dalam kehidupan bersama membutuhkan kebersamaan dengan negara sebagai bagian dari wadah bersama. Karena itu, memberi kerangka pola keberperanan masing-masing menjadi salah satu kunci keberhasilan dari setiap permasalahan yang berkembang dalam masyarakat, termasuk pula pemahaman terhadap latar sosial dan dinamikanya, turut membantu menselaraskan konflik dalam kehidupan yang damai dan lebih baik.


Menelusuri Akar Konflik Indonesia

Ada beberapa pandangan yang menyebutkan bahwa konflik-konflik di Indonesia muncul bersamaan dengan proses transisi politik setelah krisis ekonomi yang parah tahun 1997. Artinya, dalam banyak kasus selalu mengaitkan konflik-konflik yang ada pasca-Soeharto tumbang dari jabatan presiden. Ketidakpastian nilai (anomie) telah menyebabkan lemah dan gagalnya negara. Negara dianggap tidak mampu menegakkan aturan dan kontrol terhadap masyarakat, sebaliknya masyarakat justru lebih dominan mempermainkan negara. Selain faktor internal tersebut, dampak pembangunan dengan dengan warna ketidak-adilan, kesenjangan ekonomi, dan rusaknya tata sosial budaya lokal sering dianggap sebagai biang kerok penyebab konflik yang berkembang lapisan masyarakat.

Namun sebenarnya konflik-konflik yang terjadi di Indonesia tidak hanya terjadi pasca-Soeharto, melainkan juga terjadi pada masa-masa pemerintahan Soeharto. Menurut Tamrin Amal Tomagola, Indonesia tidak pernah sepi dari ledakan-ledakan konflik komunal sejak tahun 1950-an. Konflik sejenis ini telah banyak terjadi baik di masa Soekarno maupun era Soeharto. Konflik antar-suku di Kalimantan telah ada sejak tahun 1950-an dalam masa Orde Lama dan juga dalam era Orde Baru dengan meletusnya konflik etnis di Sanggau Ledo, Kalimantan Barat. Konflik terakhir di Sampit, Kalimantan Tengah, adalah yang keenam belas kalinya. Bahkan, konflik berbasis agama juga terjadi zaman Orde Baru, yaitu pertikaian bernuansa agama di Jawa, seperti peristiwa Situbondo, Tasikmalaya, Pekalongan, konflik antarumat beragama secara terbatas di Halmahera Utara yang sudah terjadi sejak tahun 1960-an.

Berkenaan dengan akar terjadinya konflik di Indonesia, para peneliti masalah sosial telah menganalisa secara seksama, baik dari aspek substantif, sejarah, maupun sosio-antropologis. HS. Nordholt pernah menyebutkan bahwa kekerasan di Indonesia pada level tertentu merupakan warisan zaman kolonial Belanda. Menurutnya, ada dua tahap kekerasan yang melanda Indonesia pada zaman kolonial. Tahap pertama terjadi di akhir abad ke-17 ketika VOC bermaksud memonopoli perdagangan dengan menguasai daerah-daerah strategis, seperti Malaka, Makasar dan Banten. Tahap kedua terjadi antara tahun 1871-1910 ketika penduduk pribumi mengalami era perluasan imperialis. Dalam periode inilah perang kolonial berkecamuk sebanyak 32 kali. Saat itu Belanda mengerahkan lebih dari 30.000 pasukan dan sepertiga anggaran dihabiskan Belanda untuk keperluan operasi militer. Semangat menentang penjajah yang berbasis kekerasan inilah yang menurut Nordholt diwariskan Belanda kepada Indonesia, dan secara terus-menerus dilanjutkan dari generasi ke generasi, sampai akhirnya menjadi suatu budaya yang terbangun dalam kesadaran masyarakat. Inilah yang bagi Nordholt disebut sebagai fakta adanya suatu geneology of violence di Indonesia.

Colombijn menambahkan bahwa penggunaan kekerasan dalam penyelesaian berbagai masalah politik secara jelas dilembagakan oleh negara dengan cara-cara kekerasan dan diproklamirkan secara sengaja oleh para pemimpin politik dan militer sepanjang periode Pasca Kemerdekaan (1945-1949). Penggunaan kekerasan pada masa ini dikemas dengan bahasa patriotisme dan heroisme, yang dalam level tertentu melegitimasi tradisi kekerasan, khususnya bagi beberapa kelompok pejuan untuk terus menerus menggunakan pola-pola represif dalam rangka menguatkan posisi tawar dalam ranah ekonomi dan politik. Ia menambahkan contoh-contoh lain yang menjadi bukti bahwa budaya kekerasan telah lama mengakar dalam tradisi masyarakat Indonesia, seperti penumpasan gerakan komunisme (1965-1966), pembentukan Kopkamtip, kasus penembakan misterius (1982-1985), dan pendirian berbagai paramiliter sipil yang sebagian tersamar dalam berbagai organisasi pemuda, organisasi kampus dan aparat pemerintah.

Berbeda dengan pandangan diatas, George Junus Aditjondro dengan mengutip dua antropolog Eropa, Hohe dan Ramijsen mengatakan bahwa praktek kekerasan di Indonesia disebabkan karena beberapa tradisi masyarakat lokal yang sesungguhnya merupakan akar-akar kekerasan. Misalnya, upacara pela keras atau pela minum darah di Maluku memiliki potensi yang dapat mempertajam konflik. Hal itu disebabkan persatuan antara dua pihak yang terikat persekutuan pela dilandasi pada oposisi terhadap pihak ketiga, di mana sebagian penduduk pribumi dahulu menggalang solidaritas dengan membangun semangat perlawanan terhadap pihak luar. Tradisi lokal serupa juga dijumpai pada masyarakat Melayu yang memiliki tradisi amok, yang mengisyaratkan bahwa mereka siap mempertaruhkan jiwa raga ketika kesabaran habis dan mereka dianiaya. Sebagian masyarakat Madura juga mengenal tradisi carok, yang siap mempetaruhkan nyawa demi kehormatan dan keluarga. Semua tradisi itu secara langsung atau tidak merupakan akar dan mentradisikan konflik-konflik di Indonesia.

Fenomena "keakraban" masyarakat Indonesia dengan kekerasan dalam berbagai bentuknya inilah yang mengantarkan negeri ini sempat mendapat julukan "a violent country". Dalam sebuah seminar bertajuk “Indonesia Next”, Prabowo Subianto pernah pula menyebut kekerasan sebagai bagian dari budaya Indonesia.

“Indonesian culture is very violent and the military is a mirror of society. An example of this mirroring can be seen in Maluku…It is not really “politically correct” for me to say this…but like it or not, politically correct or not, this whole culture in Indonesia is a culture of violence between tribes and ethnic groups. Indonesians can very quickly turn to violence. The word “amok” comes from the lingua franca of this archipelago. This is something that we are aware of, something we do not like, and something that we would like to address, to control, to manage. But it is there: fighting between ethnic groups, and finally fighting between religions."


Pernyataan Prabowo tersebut bisa dibaca dari perspektif berbeda, dalam arti bahwa pernyataan tersebut lebih tepat dilihat sebagai usaha menjustifikasi sebuah pandangan khas pihak militer bahwa sudah sepatutnya sebuah institusi negara, dalam hal ini militer, diberikan dan menggunakan kekuatannya untuk mengontrol sebuah bangsa yang secara inheren memiliki kecenderungan menyukai kekerasan. Pernyataan semacam itu lebih banyak digunakan untuk memobilisasi dukungan masyarakat bagi kepentingan korporat pihak militer yang mempersepsikan diri sebagai garda terdepan dalam menjamin rasa aman bagi masyarakat.

Pendekatan ”rasa aman” atau keamanan merupakan sebuah cara yang melihat segala persoalan yang terjadi di tengah masyarakat sebagai persoalan keamanan, sehingga harus diselesaikan dengan melalui penegakan keamanan. Padahal tidak semua persoalan di masyarakat tersebut sebagai persoalan keamanan. Karena bisa saja akar persoalannya bersumber pada persoalan ekonomi atau politik. Dalam satu daerah yang terus-menerus bergolak seperti Papua, pendekatan keamanan menempatkan aktor keamanan terutama militer, sebagai aktor utama untuk penyelesaiannya. Maka kemudian dikirimlah sejumlah pasukan ke wilayah bergolak tersebut.

Hal inilah yang menguatkan pandangan bahwa potensi kekerasan dilestarikan dalam baju militer dengan model dan pendekatan keamanan. Selama ini penggunaan pola pendekatan keamanan dalam menangani sejumlah daerah konflik terbukti tidak berhasil. Pola tersebut bukannya menyelesaikan masalah, malah sebaliknya pola itu semakin memupuk keadaan konflik di daerah sehingga konflik tersebut menahun dan semakin sulit untuk dicarikan penyelesaiannya. Sebab, dalam situasi di mana militer lebih banyak bicara melalui operasi-operasi kemanan, maka cara tersebut tidak lebih hanya menimbulkan persoalan-persoalan bagi masyarakat. Kedamaian bukannya dicapai, melainkan rasa tidak amanlah yang dirasakan oleh masyarakat.

Dengan demikian wajah kekerasan di Indonesia ketika itu sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor diluar masyarakat daripada faktor internal yang mengasumsikan bahwa kekerasan adalah bagian inheren dari budaya masyarakat Indonesia, sebagaimana diyakini oleh Prabowo Subianto. Faktor diluar masyarakat diantaranya adalah kegagalan elit politik menyelesaiakan isu ketidakadilan, dominasi militer yang terus berlangsung, ketidakmampuan aparat keamanan menegakkan hukum dan lain sebagainya. Faktor-faktor ini membuka peluang bagi masyakat untuk menyelesaikan persoalan dengan caranya sendiri, yang kerap diikuti dengan kekerasan.[10]


Tipologi Konflik di Indonesia

Konflik-konflik yang terjadi di Indonesia dapat dikelompokkan atas beberapa jenis utama, yaitu :

1. Konflik Horisontal

Konflik yang terjadi antar kelompok agama, kelompok pendatang, penduduk asli, kelompok etnis atau suku, agama atau kepercayaan dan organisasi bisnis yang berada di lokasi setempat. Tipologi konflik horisontal mempunyai asumsi bahwa konflik sudah terjadi dan menyebar ke berbagai aspek sosial, akses ekonomi, ideologi politik dan kekerasan fisik di antara kelompok-kelompok masyarakat.

Konflik horisontal yang paling menonjol seperti terjadi di Sulawesi Tengah yaitu dikenal dengan konflik Poso, konflik Arale, Tinambung, Mambi/Mamasa (ATM) di Sulawesi Barat, Konflik Sabbang/Luwu Utara di Sulawesi Selatan. Di Kalimantan Barat terjadi konflik antara etnis Melayu dan Dayak dan etnis Madura Dayak yang terjadi pada tahun 1997, konflik Melayu dan Madura di Sambas.

2. Konflik Vertikal

Konflik vertikal biasanya terjadi antara negara (aparat negara) dengan warga negara, baik secara individu maupun secara kelompok. Asumsinya, konflik terjadi karena merupakan akibat dari proses pembuatan policy pemerintah yang tidak partisipatif dan pada tahap berikutnya memunculkan perbedaan pendapat, pertentangan, kekerasan serta separatisme. Dalam konflik ini negara memiliki kepentingan atas terjadinya konflik di daerah, dalam arti konflik yang sengaja diciptakan negara untuk kepentingan yang lebih makro. Misalnya di Sulawesi Tengah diklaim telah menjadi salah satu wilayah yang menjadi sasaran kelompok 'teroris' kasus Poso dan beberapa pengeboman yang berlangsung di Palu diduga dilakukan oleh kelompok Teroris. Contoh lain adalah perambahan Taman Nasional Lore Lindu oleh Masyarakat yang menamakan dirinya Masyarakat Adat/Petani Merdeka di Kabupaten Donggala dan Poso.

Contoh lain adalah konflik yang tengah berlangsung di Papua, akibat isu pemekaran Papua dalam koridor desentralisasi. Isi ini justru berdampak konflik semakin melebar, pihak yang bertikai tidak saja terjadi di antara kubu Pro Kemerdekaan dengan Pro Integrasi, melainkan juga ikut terjadi di dalam tubuh gerakan Pro Integrasi sendiri.

3. Kerawanan Sosial dan Potensi Konflik

Kerawanan sosial merupakan keresahan sosial yangberkepanjangan yang diakibatkan oleh proses konflik yang ditimbulkan dari perbedaan pendapat suatu masyarakat atau kelompok/golongan tertentu, dengan pemecahan dan penyelesaian masalah yang tidak memuaskan masyarakat atau golongan tersebut. Ketidak-puasan ini masih dalam eskalasi aman sehingga hanya diperlukan tindakan pencegahan. Ketidak-puasan pemecahan masalah dari yang tidak teapt dicegah akan memicu keresahan, demonstrasi/anarkis ataupun separatisme. Beberapa potensi konflik dan kerawanan sosial yang dominan adalah sebagai berikut :

a. Ketidak-adilan sosial ekonomi

Kebijakan pembangunan yang sentralistik pada masa sebelumnya telah menyebabkan ketidakpuasan dalam pemerataan hasil-hasilnya, kondisi ini seringkali menyebabkan konflik vertikal (antar kabupaten-propinsi) dan horisontal (lokal-pendatang, kelompok agama). Keadaan ini cenderung akan menciptakan konflik yang berakibat pada aspek sosial ¬ekonomi masyarakat. Selanjutnya resistensi pemerintah daerah otonom (kabupaten/kota) dalam penguasaan sumber daya alam lokal, mendorong terjadinya konflik struktural tersebut yang semakin tidak terkendali.

b. Penggunaan kekerasan dalam mewujudkan tertib sosial

Sistem politik yang tidak dapat mengelola hubungan antara pemerintah dan masyarakat dapat berpotensi menciptakan kekerasan. Kekerasan atau tindakan represif yang berlarut-larut baik dilakukan oleh masyarakat maupun elit sengaja dilakukan untuk mewujudkan tertib sosial secara cepat. Kesadaran atas tindakan yang manusiawi tidak diperhatikan karena dianggap lambat dalam mewujudkan sistem sosial yang tertib, aman, dan sejahtera. Maraknya pelembagaan preman yang disokong oleh militer, elit politik, hingga pelaku bisnis. Pertikaian antara masyarakat, negara dan pelaku bisnis bisa menjadi salah satu contoh yang menggambarkan betapa rumit, ruwet dan alot-nya kasus konflik yang mengdepankan kekerasan.

c. Pelanggaran HAM

Tindakan kekerasan merupakan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang akhirnya menimbulkan konflik dan korban dalam jumlah besar. Hak-hak sosial, ekonomi dan budaya serta hak-hak sipil dan politik telah dilanggar. karena kebijakan-kebijakan sosial ekonomi dan politik tidak menghitung efek-efek sam ping berupa tindakan-tindakan yang tidak manusiawi dalam hubungan-hubungan sosial ekonomi dan politik antara masyarakat dan elit.

d. Isu SARA

Konflik-konflik yang berkaitan dengan identitas suku, ras dan agama cenderung terjadi di kawasan atau daerah-daerah yang semula homogen atau ditempati hanya oleh satu suku, namun karena terjadi warna baru dalam penghayatan keagamaan atau kepercayaan atau model pelaksanaan ibdah atau sikap baru, maka terjadi perubahan komposisi penduduk dari aspek latarbelakang suku, agama, kepercayaan dan agama. Perubahan komposisi ini potensial menimbulkan friksi dan konflik karena dipicu persaingan penguasaan sumber daya maupun karena kesalahapahaman budaya maupun karena berbagai desas-desus seperti penyebaran agama oleh salah satu penganut agama.

e. Dampak Pemekaran dan Perluasan Wilayah

Sejak kebijakan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 dicanangkan, setiap desa/nagari, kabupaten dan propinsi dapat dimekarkan. Di Sumatera Barat misalnya, konflik-konflik muncul akibat pemekaran terjadi antara Pemerintah Kota Bukittinggi dan Pemerintah Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat tentang rencana perluasan kota Bukittinggi. Pemerintah Kabupaten Agam dan kelompok-kelompok dalam masyarakat di Kabupaten Agam menolak kebijakan perluasan tersebut. Meskipun Pemerintah telah mengesahkan perluasan wilayah Kota Bukittinggi dengan mengundangkan Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 1999 tentang Perluasan Batas Wilayah Kota Bukittinggi dan Kabupaten Agam, sebagian tokoh politik Kabupaten Agam di DPRD dan di luar DPRD menolak perluasan tersebut. Kasus ini meskipun pada tingkat pemerintahan sudah dianggap selesai dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 84 Tahun 1999, tetapi secara sosiologis dan politis pada dasarnya belum selesai, terutama oleh para pihak yang menentang perluasan' kota Bukittinggi. Di Provinsi Sumatera Utara juga telah muncul wacana pembentukan yang Propinsi baru, yaitu Provinsi Tapanuli yang potensial dapat memicu timbulnya konflik-konflik warga di akar rumput.

f. Ekses PILKADA

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung yang secara teori ilmu politik dimaksudkan untuk lebih memperkuat legitimasi Kepala Daerah terpilih, ternyata dalam praktik tidak jarang masih menimbulkan konflik-konflik di akar rumput yang juga disertai dengan tindak kekerasan. Ada berbagai faktor yang mendorong timbulnya konflik akses Pilkada yang disertai dengan tindak kekerasan. Hal ini, antara lain, disebabkan oleh tingkat kematangan berdemokrasi dan kesadaran politik yang masih rendah. Penduduk mudah diprovokasi oleh mereka yang tidak puas dengan hasil akhir Pilkada, selain tentunya ada kelemahan-kelemahan pada administrasi penyelenggaraan Pilkada.

g. Pemanfaatan terhadap Sumberdaya Ekonomi dan Sumberdaya Alam

Konflik yang terjadi berkaitan dengan peguasaan sumber daya ekonomi dan alam dapat terjadi jika pihak memiliki kekuatan sosial, politik dan ekonomi yang seimbang, misalnya antara instansi pemerintah atau antara kelompok masyarakat. Selain itu, konflik jenis ini bisa terjadi antara instansi pemerintah atau perusahaan yang memiliki izin dari instansi pemerintah untuk memanfaatkan sumber daya alam berhadapan dengan masyarakat tertentu atau masyarakat desa. Dalam konflik-konflik seperti ini, instansi pemerintah tentu memiliki berbagai jenis kekuatan dibandingkan kekuatan masyarakat. Belum lagi kasus diseputar akses kepada sumber ekonomi yang dirasakan timpang oleh masyarakat asli/primbumi sebuah daerah yang merasa dikalahkan oleh pendatang dari luar. Contoh kasus ini adalah problem bagi pendatang yang mengadu nasib di tanah Papua, khususnya mereka yang beretnis Jawa dan Makasar dalam memperebutkan sumberdaya sosial-ekonomi. Termasuk kebijakan desentralisasi yang diharapkan mampu menjadi formula obat mujarab untuk mengatasi serangkaian persoalan, justru hanya memperuncing gesekan antara penduduk lokal dengan pendatang yang bisa mendapat kemudahan dalam mengakses kebutuhan dasar. Contoh lain yang menarik dari konflik ini adalah apa yang terjadi di Dongi-dongi di Kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Konflik Penduduka Lokal dengan Kaum Migran di Batui-Toili di Cagar Alam Bangkiriang Sulawesi.

h. Lemahnya Nilai Tradisional dan Identitas Budaya

Penerapan Undang-undang Nomor: 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, dan Undang-undang Nomor: 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Kedua Undang-undang tersebut telah mencabut keberadaan kemajukan dengan cara menyeragamkan seluruh struktur dan peran pemerintahan desa. Disamping itu modernisasi pembangunan selama ini mempunyai efek pada lembaga-Iembaga adat atau lembaga agama yang telah menyatu dengan budaya setempat dan nilai-nilai tradisi yang menyertainya. Aspek ekonomi yang rasional telah menggantikan modal sosial (social capital) dalam mekanisme tradisional menjadi modal keuangan (capital) dalam pengertian sempit yaitu untung¬rugi. Akibatnya, mekanisme tradisional yang berlandaskan lingkungan setempat pudar bersamaan dengan identitas budaya asli sehingga menimbulkan krisis identitas. Krisis identitas, dalam artian, tidak relevannya nilai-nilai lama dan belum kokohnya nilai-nilai baru, mendorong elit dan masyarakat tidak percaya sepenuhnya untuk mentransformasikan mekanisme tradisional dan identitas budayanya dalam konteks identifikasi dini.

Sebagai contoh mekanisme budaya To Paso (orang Poso) dalam menangani konflik tidak lagi mampu mencegah dan menangani konflik yang berlangsung di Paso. Mekanisme Molibu (duduk bersama) sebagai tradisi mencegah konflik, Mo Kayori (tradisi mediasi konflik) dan Motambu tana (tradisi memaafkan dan melupakan kesalahan) tidak lagi bisa diterapkan karena proses-proses modernisasi dan kuatnya intervensi negara dalam kehidupan publik terlalu dominan.


Alternatif Pengelolaan Konflik

Setiap sistem hukum dan politik berfungsi untuk mengelola konflik-konflik yang terjadi di dalam masyarakat agar tidak berkembang menjadi tindak kekerasan. Oleh sebab itu diperlukan berbagai sarana pengelolaan konflik. Dalam literatur disebut sarana pengelolaan konflik meliputi penggunaan berbagai alat analisis konflik dan pemetaan konflik, penguatan institusi demokratis dan tersedianya berbagai bentuk penyelesaian konflik yang sah. Di dalam litertatur maupun praktik kehidupan bernegara di negara-negara lain dikenal beberapa bentuk penyelesaian konflik, yaitu negosiasi, mediasi, keputusan pejabat administrasi, arbitrasi, proses pengadilan, keputusan legislatif. Sistem hukum dan politik Indonesia pada dasarnya juga mengenal dan memiliki sarana-sarana pengelolaan konflik seperti itu. Persoalannya adalah sejauhmana efektivitas sarana-sarana pengelolaan itu bagi penyelesaian konflik. Efektifitasnya memang menjadi sebuah pertanyaan saat melihat konflik yang disertai tindak kekerasan terus mewabah di masyarakat.

Negosiasi adalah proses penyelesaian konflik atau sengketa melalui perundingan di antara para pihak tanpa di fasilitasi oleh pihak lain. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui perundingan yang dibantu oleh pihak lain yang bersifat netral dan tidak memiliki kewenangan memutus. Arbitrasi adalah proses penyelesaian konflik atau sengketa dengan bantuan pihak lain yang bersifat netral dengan kewenangan memutus.

Negosiasi, mediasi dan arbitrasi merupakan sarana-sarana pengelolaan konflik yang dapat digunakan jika para pihak memilihnya. Dengan kata lain, penggunaan negosiasi, mediasi dan arbitrasi pada umumnya bersifat pilihan dan kesukarelaan para pihak. Jika satu pihak saja menghendaki, maka proses negosiasi, mediasi dan arbitrasi tidak dapat berjalan. Sifat kesukarelaan dan pilihan ini merupakan salah satu kelemahan dari penggunaan negosiasi, mediasi dan arbitrasi. Di antara negosiasi, mediasi dan arbitrasi juga dapat dibedakan. Negosiasi dan mediasi bekerja atas dasar prinsip konsensus atau mufakat para pihak, sedangkan arbitrasi bersifat memutus. Secara teori untuk konflik-konflik tentang pemanfaatan sumber daya alam lebih tepat untuk diselesaikan melalui negosiasi dan mediasi karena kedua proses ini memberikan keleluasaan bagi para pihak untuk membahas tidak saja aspek hukum, tetapi aspek-aspek lain yang terkait seperti kebutuhan ekonomi, ekologis dan budaya para pihak. Selain itu, negosiasi dan mediasi memberikan otonomi dan peran serta penuh para pihak untuk membuat keputusan-keputusan.

Pilihan-pilihan diatas dapat menjadi salah satu modal dalam menyelesaikan setiap persoalan yang berkembang di masyarakat. Masing-masing terdapat kelebihan dan kekurangannya. Tingkat efektifitasannya bergantung kepada kerelaan semua pihak untuk berdialog secara sejajar termasuk di dalamnya adalah pemahaman yang sama terhadap akar-akar dan dinamika konflik yang ada. Hal ini harus didukung oleh pemahaman terhadap realitas konflik secara obyektif, sebab sebenarnya konflik tercipta dari kompetisi memperebutkan akses terhadap otoritas kekuasaan dan sumber ekonomi atau kemakmuran dari aktor-aktor yang berkepentingan. Maka faktor identitas sebenarnya bukan menjadi penyebab konflik (variabel independen), tetapi hanya sebagai pembangkit sentimen kolektif dari kelompok-kelompok yang bertikai (variabel intervening). Yang lebih penting lagi adalah sebab pokok (underlying causes) yang berasal dari kebijakan negara dalam pengelolaan konflik. Inilah yang menjadi titik sentral dari upaya penyelesaian masalah dengan mengembangkan model hubungan dan pola interaksi antara negara dan masyarakat, sebagai bagian dari penyelesaian masalah yang lebih santun dan terhormat.

Selain memperhatikan faktor relasi negara dan masyarakat, patut dipertimbangkan penguatan peran dimensi tradisionalitas atau kearifan lokal secara proporsional. Menurut John Haba, kearifan lokal ialah sebuah kebudayaan yang mengacu pada pelbagai kekayaan budaya itu sendiri, yang tumbuh dan berkembang dalam sebuah masyarakat, dikenali, dipercayai, dan diakui sebagai elemen-elemen penting yang mampu mempertebal kohesi sosial di antara warga masyarakat.

Tradisi pela dan gandong yang memiliki sisi-sisi positif dan konstruktif untuk mendorong rekonsiliasi dapat menjadi alternatif dalam membantu penyelesaian secara damai. Pela lahir berdasarkan ikatan perjanjian persahabatan dan persaudaraan dua desa atau lebih, sementara gandong menyiratkan persahabatan yang terbentuk karena adanya kesadaran geneologis.

Dalam etnik Madura ada tradisi naik dango pasca-perayaan panen, yaitu ketika komunitas Madura secara terbuka memberikan ucapan selamat kepada komunitas Dayak. Ada tradisi basaru/nyaru samangat yang dimaksudkan untuk mengembalikan semangat positif berupa kedamaian, keamanan, dan ketenteraman. Selain itu ada upacara naik dango, sebuah upacara adat yang biasa dilakukan masyarakat Dayak untuk merayakan dan mensyukuri hasil panen dengan mengundang semua elemen masyarakat termasuk etnik Madura.

Kearifan lokal dalam bentuk lain juga dapat digali dengan mencari persamaan di antara kelompok-kelompok yang bertikai. Di Maluku, misalnya, tradisi yang menonjol adalah kompetisi dan festival olah vokal, grup musik, dan olahraga, seperti tinju dan atletik. Atau inisiatif seorang guru madrasah, Irwan Tahir Manggala, yang menggelar pertandingan sepak bola multireligius antara kelompok Muslim dan Kristen di kota Ambon. Kebanggaan atas prestasi dan semangat sportivitas itu diharapkan akan mempersempit jurang perbedaan.

Perdamaian dan pencegahan konflik akan lebih dapat dirasakan lagi manakala kearifan-kearifan lokal itu kemudian didukung, difasilitasi, dan dibantu oleh peran negara dan pemerintah. Negara dan pemerintah bukannya malah mengambil keuntungan atau sengaja menciptakan konflik di daerah untuk kepentingan yang lebih makro.[]

selengkapnya..

RESOLUSI KONFLIK: BERBAGAI MODEL DAN STRATEGI

Oleh M. Mukhsin Jamil


Memahami Konflik dan Kekerasan Kekerasan
Konflik dan kekerasan merupakan fenomena yang bisa kita lihat hampir setiap saat, terutama melalui pemberitaan berbagai media. Tawur antar kampung, perang antar suku, penggusuran di berbagai kota sampai konflik antar negara merupakan peristiwa konflik dan kekerasan yang kasat mata Dari peristiwa-peristiwa itu bisa kita ketahui bahwa konfllik dan kekerasan bisa saja terjadi dimanapun dan melanda komunitas manapun. Distribusi spasial atas kekerasan meliputi wilayah kota metropolitan sampai daerah pedalaman, masyarakat kota maupun desa, dengan latar belakang etnik, agama maupun sosial politik yang bermacam-macam. Oleh karena itu maka melakukan generalisasi atas kerusuhan dan kekerasan bisa menimbulkan kesalahan tertama ketika kita hendak mencari jalan keluar. Artinya hal-hal umum dan spesifik dari kerusuhan harus diketahui, sehingga jalan keluar yang umum dan spesifik dapat kita temukan. Untuk itu diperlukanlah juga penjelasan teoritik tentang fenomena kekerasan dari aspek sosiologis maupun psikologis.

Di lihat dari cakupan dan keluasannya , pengertian kekerasan (violence) dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengertian kekerasan dalam arti sempit dan kekerasan dalam arti luas. Pengertian kekerasan dalam arti sempit bisa dilihat dari definisi Ted Robert Gurr tentang kekerasan dengan memfokuskan arti kekerasan dalam hubungannya dengan kekerasan politik (political violence). Gurr mendefinisikan kekerasan sebagai berikut :

“Semua tindak kekerasan kolektif dalam suatu komunitas politik terhadap rezim politik, aktor-aktornya (termasuk kelompok-kelompok di luar maupun di dalam pemerintahan) atau kebijakannya. Konsep itu menggambarkan serangkaian kejadian yang ciri pokoknya adalah penggunaan atau ancaman penggunaan tindak kekerasan … yang termasuk dalam pengertian itu adalah revolusi, … perang gerilya, kudeta dan kerusuhan”.


Pengertian kekerasan dalam arti luas diajukan oleh Johan Galtung yang mendefinsikan kekerasan sebagai “any avoidable Impediment to self realization” (sesuatu yang menyebabkan orang tidak bisa mengaktualisasikan diri secara wajar). Penghalang itu menurut Galtung sebenarnya dapat dihindarkan, dan oleh karenanya kekerasan sebenarnya bisa dihindarkan kalau penghalang itu disingkrikan.

Berdasarkan pengertian Galtung ini Mohtar Mas’ud membuat dua kategori kekerasan yaitu jenis kekerasan langsung atau personal, dan kekerasan tidak langsung atau kekerasan struktural. Kekerasan langsung adalah kekerasan yang dilakukan oleh satu atau sekelompok aktor kepada pihak lain. (“violence as action”); sedang kekerasan tidak langsung merupakan suatu yang sudah terbangun (“built-in”) dalam struktur (“violence as structur). Sementara kekerasan langsung dilakukan seorang atau sekelompok orang dengan menggunakan alat kekerasan seperti perkelahian, tawur antar kampung, kekerasan struktural “terjadi begitu saja” tidak ada aktor tertentu baik kelompok ataupun pribadi yang secara langsung melakukannya. Kekerasan dalam bentuknya yang kedua ini bisa kondisi masyarakjat dan anak-anak kampung akibat kemiskinan yang berupa lemahnya daya pikira akibat kurang gizi. Penderitaan mereka menurut Mas’ud adalah akibat dari struktur sosial ekonomi yang timpang dan tidan adil. Itulah kekerasan Struktural. Dengan kata lain, demikian menurut Mas’ud, kekrasan bukan hanya berujud keadaan yang menimpakan penderitaan atau kesengsaraan pada seseorang. Kekerasan juga bisa berujud halangan bagi seseorang untuk memperoleh kebaikan dan kebahagiaan.

Dengan preposisi semacam itu maka kekerasan sebagai sebuah tindakan, sebenarnya bisa dilakukan oleh siapapun baik oleh sekelompok orang, pejabat negara maupun para pengendali modal. Persoalannya kemudian adalah darimanakah kekerasan baik personal maupun struktural itu muncul dan bagaimanakah anatomi kekerasan itu bisa dijelaskan sehingga bisa dicari solusi damai.

Dengan demikian memahami fenomena kekerasan dan berusaha untuk mencari solusi damai memerlukan pemahaman yang komprehensif terhadap fenomena konflik dan kerusuhan. Hal ini berarti konflik dan kekerasan tidak bisa hanya dipahami dari satu latar belakang dan penyebab. Kekerasan bisa saja berurat kar pada masa lalu sejarah yang komplek, juga bisa bersumberdari realitas sosial, ekonomi, politik dan kultural yang kita hadapi.

Dari perspektif historis, kerusuhan dan kekerasan pada dasarnya merupakan gejala sejarah yang hampir sepanjang masa dapat dijumpai baik dalam sejarah masyarakat Barat maupun sejarah masyarakat Indonesia. Gejala kerusuhan yang sering muncul dalam proses sejarah umumnya terjadi pada masyarakat yang sedang mengalami krisis sebagai akibat dari proses perubahan yang mendesak baik pada bidang sosial, ekonomi, politik dan kultural. Pergeseran yang cepat dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kultural yang diikuti dengan perubahan struktur, kedudukan, fungsi dan ikatan-ikatan hubungan sosial sering menyebabkan timbulnya situasi krisis, ketegangan dan keresahan bagi lingkungan masyarakat yang sedang menghadapi perubahan-perubahan. Reaksi atas timbulnya krisis adalah protes terhadap ancaman yang ditimbulkannya yang bisa muncul dalam bentuk kerusuhan (riot) dan (violence). Karena itu munculnya gejala kerusuhan dan kekerasan sering mengiringi proses perubahan-perubahan besar atau menjadi bagian dari masa terjadinya pergolakan sosial (social upheaval), pemberontakan (rebellion, revolt), revolusi maupun pada masa krisis ekonomi dan krisis politik terjadi (S.N. Eisdendtad, 1978).

Fenomena kekerasan juga bisa dijelaskan melalui efek transformasi masyarakat dalam proses modernisasi seabagaimana diungkap oleh Galtung. Sumber meningkatnya fenomena kekerasan akhir-akhir ini menurut Galtung ada dalam transformasi sebagian besar masyarakat dunia dari masyarakat “nomads” yang sangat kuat dikuasi oleh struktur interaksi sosial “bheta” (hubungan sosial primer) yang tebal dan bersekala kecil menuju “monadisme” (monaism) yang didominasi oleh struktur interaksi sosial “alpha” (hubungan sosial sekunder) yang tipis dan bersekala besar (Nasikhun 1997).

Ada tiga proses penting di tengah dinamika masyarakat modern melalui proses modernisasi yang membawa implikasi keurusuhan dan kekerasan. Pertama, disintegrasi yang dialami oleh semakin banyak masyarakat dunia, yang telah memaksa integrasi masyarakat hanya dapat dipertahankan melalui pemusatan kekuasaan di tangan kecil kelompok penguasa. Kedua menibgkatnya kecenderungan masyarakat untuk menjawab dinamika perubahan itu melalui proses destrukturisasi (destructuration) dan proses dekulturasi (deculturation) dan Ketiga, sebagai akibat dari keduanya berkembang situasi “atomie” dan “anomie” yang menghasilkan ketidakpastian, prustasi, rasa takut, disorientasi dan hilangnya makna hidup pada tingkat kehidupan pribadi.

Situasi “atomie” dan “anomie” berimplikasi pada empat hal. Pertama, kecenderungan terjadinya pergeseran fokus interaksi sosial dari hak-hak dan tanbggung jawab (yang merupakan campuran antara orientasi egoistis dengan altruisme) menuju suatu orientasi egoistis yang selalu mempertanyakan sesuatu berdasarkan “apakah ada sesuatu untuk saya”. Kedua, meningkatnya korupsi dan manipulasi kekuasaan pada semua jenjang hirarkhi organisasi yang pada dasarnya merupakan suatu cara untuk menggunakan organisasi bagi kepentingan egoistis. Ketiga, sebagai akibat dari menurunnya makna organisasi sosial (social nets) bersama dengan meningkatnya peranan dan makna individu (social knots) yang kemudian terjadi adalah meningkatnya mobilitas individu keluar dari dan masuk ke dalam organisasi tanpa komitmen moral. Sedangkan keempat, sebagai konsekuensi final dari semuanya adalah meningkatnya kekerasan pada semua jenjang organisasi akibat hilangnya kekuatan norma absolut yang mampu menghalangi individu keluar dari dab meninggalkan komitmen moral terhadap orang lain dan terhadap masyarakat (Nasikhun 1997).

Kekerasan juga bisa dilihat dari perspektif konflik elit. Sebagaimana kita ketahui sejak reformasi selain terjadi kerusuhan-kerusuhan lokal, kondisi sosial politik di Indonesia ditandai dengan dua gejala yang amat mencolok dalam tingkah laku politik (Agus Subagyo, 2001), yakni konflik politik (political conflict) dan kekerasan politik (political violence). Dalam kaitan ini konflik elit merupakan wujud dari konflik politik yang sebenarnya tidak lain adalah wujud dari perjuangan untuk memperoleh, mempertahankan dan memperbesar kekuasaan (struggle for power). Tarik menarik kepentingan politik elit itu di satu sisi bisa memberikan kontribusi bagi proses demokratisasi, namun juga bisa memunculkan pengkotakan-kotakan masyarakat yang akibatnya cenderung menimbulkan kekerasan kolektif

Bentuk-bentuk kekerasan dalam masyarakat dengan berbagai dimensi yang terkait di dalamnya sebagaimana telah diuraikan di atas dapat digambarkan dalam sebuah tabe ringkas berikut :



Sementara para sosiolog memfokuskan perhatian pada aspek-aspek sosiologi dan kebudayaan dari fenomena kekerasan dan kerusuhan para psikolog melihat fenomena kekerasan dari aspek kejiawaan manusia. Menurut Arron T. Back (Kartono Muhamad, 2001), kekerasan terjadi melalui dua jalur; cold calculated violence, dan hot reactive violence. Dalam cold calaculated violence, kekerasan dijadikan alat (instrumen) untuk mencapai tujuan, dan pada umumnya tujuan politik. Beck memberikan contoh kekerasan jenis ini sebagaimana kekejaman Jengis Kan sewaktu menyerbu Asia Tengah dan kekejaman yang dilakukan oleh Partai Komunis Rusia, Cina dan Kamboja (Pol Pot) terhadap lawan-lawan politiknya. Juga kekejaman Nazi terhadap orang-orang Yahudi. Dalam peristiwa tersebut, kekerasan bersifat instrumental untuk mencapai tujuan politik. Kekerasan merupakan praktek dari filsafat Mecheavelli “tujuan menghalalkan segala cara”.

Kekerasan yang menyertai proses-proses politik di Indonesia akhir-akhir ini juga dapat dikatakan sebagai bentuk cold calculated violence. Dalam cold calculated violence, pelaku kekerasan secara individu tidak harus mempunyai dendam pribadi kepada para korban karena kekerasan hanyalah instrumen untuk mencapai tujuan politis. Para pemimpin mereka seperti juga Hitler, Stalin, dan Pol Pot secara sistematik menanamkan kepada benak pengikutnya bahwa darah musuh mereka itu “halal” untuk ditumpahkan, meskipun secara pribadi pengikutnya tidak memendam kebencian (Kartono Muhamad, 2001).

Jalur kekerasan kedua (hot reactive violence), terdapat kebencian yang terpendam selama bertahun-tahun. Secara lambat laun terjadi “homogenisasi terhadap lawan, kemudian terjadi proses “dehumanisasi”. Lawan tidak lagi dilihat sebagai manusia yang perlu mendapat empati. Dan akhirnya terjado “demonisasi” yaitu lawan dianggap sebagai “setan”. Ketika perasaan itu sudah merasuk, maka kejadian sekecil apapun yang dilakukan oleh lawan yang dianggap tidak berkenan di hati mereka, akan menimbulkan reaksi kekerasan yang hebat dan kejam.

Kekerasan jalur kedua ini bisa dilihat pada kasus pembantuan suku Madura di Kalimantan, dab Perusakan milik Tionghoa tahun 1998 dan juga pembakaran rumah-rumah ibadah pada saat konflik antar umat beragama. Dalam kejadian-kejadian itu terjadi homogenisasi (semua orang Madura, atau semua orang Tionghoa, atau semua orang Kristen atau Islam adalah lawan). Kemudian terjadi dehumanisasi dimana lawan tidak lagi dilihat sebagai manisia bahkan di-demonisasi, dimana lawan disamakan dengan “setan” yang harus dijauhi bahkan bila mampu diperangi.

Secara umum baik kekerasan yang memunculkan baik melalui jalut pertama maupun jalur kedua atupun lainnya menurut Beck diakibatkan oleh dan berakar pada gangguan kognitif. Seluruh fenomena kekerasan itu menunjukan adanya gangguan kognitif dari para pelakunya. Problem kognitif itu menurut Beck disebabkan oleh adanya penonjolan egoisme dan individualisme. Dua hal ini menunjukan ciri primordialisme atau keprimitifan. Secara ringkas problem kognitif pada pelaku kekerasan melahirkan kekerasan dengan alur sebagai berikut :



Resolusi Konflik dan Kekerasan
Margaret Mead (1940) sebagaimana dikutip Andi Widjjanto (2001) menyatakan bahwa perang (kekerasan sistematis) adalah suatu temuan sosial yang dipelajari secara sengaja. Pendapat Mead ini secara lugas mengungkapkan kekerasan sebagai produk sosial. Jika kekerasan dipandang sebagai produk sosial yang ditemukan (invented) manusia dalam suatu konteks dinamika sejarah, maka persoalannya adalah dapatkah kekerasan dilenyapkan (disinvented) dalam periode sejarah yang lain?
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa kekerasan tidak berakar pada satu dimensi kehidupan manusia. Unsur-unsur psikologis, kultural, sosial, ekonomi dan politik turut melahirkan konflik sosial dan kekerasan. Dengan kenyataan inilah agaknya sulit ditemukan pemikiran yang secara tegas menyatakan akan hilangnya konflik dan kekerasan dalam sejarah kehidupan manusia. Kebenyakan dari dari solusi konflik yang diajukan oleh kebanyak pemikir bukanlah meniadakan konflik itu sendiri tetapi mentransformasi konflik itu menjadi energi positif bagi upaya perbaikan-perbaikan. Kenyataan ini pula yang melahirkan dua pandangan yang berbeda tentang konflik sosial. Pertama, pandangan Mayo yang menyatakan bahwa konflik sosial sebagai gejala abnormal. Dalam konflik itu ditemukan penyimpangan patologis dari sejumlah unsur dalam struktur sosial. Pandangan ini mengandaikan harmoni sebagai kondisi yang ideal dalam kehidupan manusia. Kedua, Pandangan Siemmel-Coser, yang menyatakan bahwa konflik akan menjadi fungsional jika muncul sebagai reaksi atas perilaku pihak pengingkar konsensus mengenai kepentingan dan kesejahteraan umum. Karena yang ingin dicapai melalui konflik semacam ini adalah tatanan hidup sosial sesuai kesepakatan bersama. Pendapat kedua ini mengandaikan adanya dimensi etik konflik sosial. Dimensi etis konflik itu sebagai mana diungkapkan Vidal, ditemukan dalam faktor positif konflik yang bisa mengubah dan memperbaiki kehidupan sosial masyarakat. Perbaikan keadaan sosial yang memprioritaskan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, tanggung jawab dan kesejahteraan umum merupakan sasaran utama konflik sosial.

Kalau konflik tidak bisa dihilangkan persoalannya kemudian adalah bagaimana konflik itu dikelola agar konflik menemukan dimensi etisnya. Dalam menjawab permasalahan ini para ahli terbelah ke dalam kelompok pasif dan konstruktivis. Kaum pasifis seperti Erasmus of Rotteram (1514), Emeric Cruce (1623), William Penn (1963), John Belers (1710), dan Abbe de Saint-Piere (1712) berpendapat bahwa penggunaan instrumen kekerasan merupakan alternatif solusi masalah-masalah sosial yang selalu dihadapi umat manusia. Sedangkan kalangan konstruksionis berpendapat bahwa kekerasan sesungguhnya dapat dilenyapkan dalam perjalanan peradaban manusia. Lenyepanya beberapa produk sosisal beruapa kekerasan seperi perbudakan dan diskriminasi rasial bagi kaum konstruksionis merupakan contoh kemungikinan dilenyapkannya kekerasan dalam kehidupan umat manusia (Andi Widjajanto, 2001).
Ada dua kerangka berpikir yang berusaha menjawab kemungkinan lenyapnya kekerasan dalam kehidupan manusia yang semakin beradab. Pertama, kerangka yang ditawakan John Mueller (1989) dalam bukunya Retreat From Doomsday: The Obsolence of Major War. Dalam hal ini Mueller berpendapat bahwa pengalaman kekerasan traumatik yang dialami suatu bangsa dapat menghasilkan suatu kesadaran kolektif tentang perlunya menempatkan kekerasan bersenjata sebagai suatau kegiatan terlarang.
Kerangka berpikir kedua adalah tesis Imanuel Kant tentang democratic peace yang antara lain menyatakan bahwa negara demokratis tidak pernah berperang dengan negara demokratis lainnya. Tesis ini mengandaikan bahwa perdamaian demokratic adalah sebuah kondisi yang memungkinkan lenyapnya konflik dan kekerasan dalam kehidupan bangsa-bangsa. Tesis democratic peace dapat diuji dengan melihat kasus-kasus konflik yang terjadi pada sistem internasional.
Kembali lagi persoalannya adalah pada bagaimana konflik harus dikelola bukan membiarkannya sedemikian rupa, walaupun konflik pada ujungnya akan menghasilkan kesadaran kolektif tentang perlunya menghindari kekerasan. Hal ini karena pengalaman traumatik sendiri sebarnya perlu dicegah sedemikian rupa. Untuk itulah diperlukan model-model resolusi konflik. Dengan mengacu kepada negara multi etnis, Tubagus Aruf Faturahman (2001) menyodorkan lima model regulasi konflik.
Pertama, partisi, yaitu pemisahan secara tegas antara satu etnis dengan etnis lainn. Model ini jarang sekali digunakan dan hal ini hanya dimungkinkan apabila sebuah etnis benar-benar hidup terpisah dari garis demarkasi negara.
Kedua, model dominasi, yaitu satu dominasi etnis terhadap etnis lain, biasanya melalui kekerasan atau atau tindakan diskriminatif. Model ini mendasarkan pada asumsi kekerasan sebagai alternatif mengakhirin kekerasan lebih lanjut.
Ketiga, melalui proses asimilasi. Model ini adalah bentuk halus dan maju dari model kedua yang dilakukan secara alami. Keempat melalui model konsolidasi. Model ini mengakui eksistensi setiap perbedaan yang ada dan mencoba untuk mengharmonikan perbedaan perbedaan itu. Dalam model ini kelompok mayoritas bukan pihak yang menentukan dalam berbagai hal, tetapi berbagai ketentuan diputuskan berdasarkan konensus dan kompromi.
Kelima, memilik keserupaan dengan model keempat, yaitu pengakuan terhadap semua etnis, tetapi tidak memiliki keterkaitan dengan hal-hal yang sifatnya politis. Model ini disebut dengan sinkretisme. Negara dalam hal ini berusaha mengakomodasikan dan mengekspresikan berbagai perbedaan yang ada dan menganggap semua etnis yang ada memiliki posisi yang sama dan diperlakukan secara adil.
Versi lain tentang resolusi konflik adalah apa yang ditawarkan Galtung. Galtung sebagaimana dikutip Tubagus (2001) menawarkan tiga model yang berkaitan satu sama lain yaitu peace keeping, peace building, dan peace making. Ketiga Kerangka model itu bisa dilihat dengan Tabel di bawah ini.



Model peace keeping (operasi keamanan) yang melibatkan aparat keamanan dan militer perlu diterapkan guna meredam konflik dan menghindarkan penularan konflik terhadap kelompok lain. Peace building adalah strategi atau upaya yang mencoba mengembalikan keadaan destruktif akibat kekerasan yang terjadi dalam konflik dengan cara membangun jembatan komunikasi antar pihak yang terlibat konflik. Peace building lebih menekankan pada kualitas interaksi darpiada kuantitas. Karena itu lima hal yang harus diperhatikan dalam tahapan ini;
Pertama, inetraksi yang terjadi harus antara pihak-pihak yang memiliki kesejajaran status. Kedua, adanya dukungan dari lingkungan sosial. Ketiga komunikasi terjadi secara intim (bukan kasual). Kempat proses komunikasi harus menyenangkan kedua pihak dan keilma, ada tujuan yang hendak dicapai bersama.
Sedangkan peace making adalah upaya negosiasi antara kelompok kelompok yang memiliki perbedaan kepentingan. Ada beberapa metode bisa dipilih pada tahapan negosiasi ini. Pertama, melalui kekerasan, kedua melalui hukum atau pendekatan konvensional. Pendekatan hukum akan efektif dilakukan pemerintah yang memiliki legitimasi. Tanpa legitimasi, negara akan kehilangan kewenangan dan kewibawaan dalam mengelola negara termasuk rekonsiliasi sebagai bagian resolusi konflik. Dalam kasus dimana negara tidak memilik legitimasi, pendekatan konvensional pasti gagal dan harus dicari alternatif solusi melaui altrenatif despute resolution (ADR) yang berupaya menyelesaikan konflik dengan cara langsung mengarah pada persoalan utama, kendati secara hukum illegal. Model ini juga dikenal sebagai Interactive Conflict Resolution. Di bawah ini akan diuraikan aspek-aspek teoritis dan praktis mengenai resolusi konflik.
Diantara sejumlah buku yang membahas resolusi konflik, buku berjudul Contemporary Conflict Resolution karya bersama Oliver Ramsbtom, Tom Woodhouse dan Hugh Miall, merupakan tulisan yang sangat komprehensif. Buku ini sebagaimana komentar Chris Mitchel dari George Mason University, merupakan karya terbaik dan satu-satunya volume yang membahas lapangan analisis dan resolusi konflik sampai akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Sebagai buku terkemuka, komprehensif dan koheren, buku ini memperkenalkan berbagai perspektif, model serta bebagai respon atas isu-isu konflik kontemporer yang berkaitan dengan proses pencegahan konflik, resolusi konflik dan proses peace builing yang kini tengah berkembang sebagai agenda internasonal. Buku ini didasarkan atas survey terhadap model kerangka kerja berbagai komponen resolusi konflik, menghubungkannya satu sama lain untuk kemudin menjadi bangunan resolusi konflik kontemporer dengan pondasi teori-teori klasik. Uraian berikut ini merupakan survey singkat mengenai model resolusi konflik yang banyak didasarkan pada karya diatas. Sebagai jembatan untuk pembekalan terhadap masalah yang lebih teknis adaptasi dan pengakyaan hal-hal teknis didasarkan pada buku Working With Conflict: Skills and Strategy For Action, karya Simon Fisher dkk..
Sebelum mengurai secara rinci mengenai model resolusi konflik perlu diketahi bahwa ada perdebatan diantara conflict resolver dan conflict transformer; yaitu mereka yang berpegang pada konsep reolusi konflik di satu sisi dan mereka yang berpegang pada konsep transformasi konflik pada sisi yang lain. Saya sepakat dengan posisi yang diambil dalam buku di atas yaitu bahwa keduanya seungguhnya bukan dua konsep yang saling berlawanan, tetapi melengkapi satu sama lain. Transformasi konflik, demikian menurut Rambston merupakan level yang lebih mendalam dari tradisi resolusi konflik dari pada sebagai usaha yang terpisah. Dalam pandangan Rambston tidak ada masalah mengenai payung apa yang digunakan pada akhirnya seperti regulasi konflik (conflict regulation), manajemen konflik (conflict managemen termasuk reolusi konflik (conflict resolution) dan transformasi konflik (conflict transformation), sejauh konsep itu secara koheren mencakup substansi dari kerja menangani konflik.
Resolusi konflik dan transformasi konflik secara esensial sesungguhnya bekerja dalam satu medan yang sama. Buku karya Duke (1996) yang berjudul Resolving Public Conflict : Transforming Community and Governence menunjukan kesamaan esensial antara dua konsep itu. Adapun penggunaan konsep resolusi konflik dalam tulisan ini didasarkan atas beberapa alasan. Pertama, konsep ini merupakan gagasan yang muncul paling dini yang digunakan untuk mendefinsikan penanganan konflik sebagai area baru (lihat Jurnal of Conflict Resolution: 1957). Kedua, term ini merupakan term yang secara luas dipakai oleh sangat banyak analis dan praktisi, sehingga hampir-hampir tidak ada perubahan penting tentang konsep ini dari tahun ke tahun hingga sekarang. Ketiga, term resolusi konflik merupakan term yang paling terkenal di media maupun di dalam kehidupan publik secara umum.

Model Kerangka Kerja
Embrio resolusi konflik yang menghubungkan antara konflik, kekerasan dan kedamaian adalah pemikiran Johan Galtung. Galtung merupakan salah seorang pendiri are resolusi konflik ini. Pemahamannya yang luas mengenai akar-akar kekerasan struktural dan cultural sebagaiaman telash sedikit disinggung di atas, sangat baik dan berguna bagi siapa saja yang ingin menggambarkan dan mengembangkan resolusi konflik secara relational, simetris dan psikologis.
Di akhir tahun 1960-an, Johan Galtung (1969) menawarkan model konflik yang mencakup konflik simetris dan konflik asimetris. Dia menyarankan bahwa konflik dapat dilihat sebagai segitiga vertikal contradiction (C) Attitude (A) dan Behavior (B). Kontradiksi (contradiction), merujuk pada sesuatu yang tersembunyi dan berada di bawah situasi konflik, termasuk kenyataan ataupun persepsi tentang ketidaksejajaran tujuan (incompatibility of goals) diantara para pihak di dalam konflik. Atau menggunakan terminologi Mitchel “mis-match between social values and social structure”




Di dalam konflik yang simetris, kontradiksi diakibatkan oleh para pihak, kepentingan mereka dan pertentangan kepentingan diantara mereka. Sedangkan dalam konflik yang asimetris, konflik diakibatkan oleh para pihak, hubungan mereka dan konflik kepentingan yang terdapat dalam relasi antar mereka. Juga termasuk sikap dan persepsi para pihak dan salah persepsi diantara satu sama lain. Semua itu dapat bersifat positif ataupun negatif, Akan tetapi dalam konflik kekerasan para pihak cenderung untuk mengembangkan berbagai stereotype satu sama lain dan sikap mereka sangat dipengaruhi oleh berbegai emosi seperti takut, marah, kebencian, dan kemarahan. Sikap termasuk di dalam nya elemen-elemen emotif (perasaan), kognitif (kepercayaan) dan konatif (keinginan). Para analis yang menekankan aspek-aspek subjektif itu menyatakan pandangan ekspresif mengenai sumber-sumber konflik. Sementara perilaku (behavior) adalah komponen ketiga yang mencakup kerjasama atau pemaksaan, bahasa tubuh yang menandakan persatuan (conciliation) atau permusuhan (hositility). Perilaku konflik kekerasan ditandai dengan ancaman, paksaan, dan penyerangan destruktif. Para analis yang menekankan aspek-aspek obyektif seperti hubungan struktural, pesaingan kepentingan material atau perilaku lebih mengungkapkan pandangan instrumental sumber-sumber konflik.
Galtung menyatakan bahwa tiga komponen itu harus dihadirkan secara bersama-sama dalam meliha konflik secara menyeluruh. Sebuah struktur konflik tanpa konflik sikap dan perilaku merupakan konflik laten ataupun struktural. Galtung melihat konflik sebagai sebuah proses dinamis dimana struktur, sikap dan perilaku terus menerus merubah dan mempengaruhi satu sama lain. Sebagai perkembangan dinamis, konflik menjadi bentuk konflik yang manifes ketika kepentingan berbagai pihak berbenturan atau ketika hubungan diantara mereka menjadi lebih bersifat opresif. Para pihak yang terlibat dalam konflik kemudian membentuk berbagai struktur untuk mencapai kepentingan mereka. Mereka mengembangkan sikap permusuhan dan perilaku konfliktual. Dari sinilah kemudian bentuk konflik mulai berkembang dan intensif. Sebagaimana konflik berlangsung, sangat mungkin juga terjad perluasan konflik kepada pihak-pihak lain, lebih mendalam dalam lebih tersebar, yang memunculkan konflik sekunder diantara pihak yag lerlibat atau di dalam pihak lain yang ingin memperoleh keuntungan dari konflik itu. Pada akhirnya pemecahan konflik harus melibatkan serangkaian perubahan dinamis yang meliputi pencegahan perluasan perilaku konflik (de-escalation of conflict behavior), perubahan sikap dan transformasi hubungan (relationship) atau benturan kepentingan yang semua itu merupakan inti dari struktur konflik.
Terkait dengan gagasan di atas adalah pemikiran Galtung mengenai pembedaan antara kekerasan langsung (direct violence) seperti anak dibunuh, kekerasan stuktural (structural violence) seperti anak mati karena kemiskinan, dan kekerasan kultural (cultural violence) yaitu apapun yang mengikat kita untuk melakukan justifikasi terhadap kekerasan. Kita menghentikan kekerasan langsung dengan merubah perilaku konflik (conflic behavior). Untuk menghentikan kekerasan struktural dengan melakukan merubah kontradiksi stuktural dan ketidak adilan. Sedangkan untuk merubah kekerasan kultural adalah dengan merubah berbagai sikap. Semua respon itu terkait dengan strategi yang lebih luas dari peacekeeping, peacebuilding dan peacemaking. Galtung mendefinsikan kedamaian negatif (negative peace) sebagai penghentian kekerasan langsung (direct violence) dan kedamaian positif (positive peace) sebagai pemecahan kekerasan struktural dan kultural.

Eskalasi dan Deeskals Konflik
Proses eskalasi konflik adalah kompleks dan tidak dapat diprediksi. Isu-isu baru dan pihak yang terliba dalam konflik dan muncul, pertarungan dapat menjadi pilihan taktik dan tujuan. Konflik sekunder dan spiral, kemudian memperburuk situasi. Model eskalasi konflik dibawah ini menggambarkan bagaimana konflik berpindah dari satu tahap ketahap lain yang membentuk kurvaa normal eskalasi dan deeskalasi konflik. Tahap perubahan itu dimulai dari perbedaan yang merupakan bagian dari seluruh perkembangan sosial, berkembang melalui bibit-bibit kontradiksi yang mungkin tampak atau bersifat laten, naik lagi melalui proses polarisasi dimana salng pertentangan antar para pihak mulai tampak dan puncaknya adalah pecahnya kekerasan langsung (dirct violence) ataupun perang.



Model Gelas Pasir : Spektrum Respon Resolusi Konflik
Selain model kurva yang ditawarkan Galtung, Rombston menawarkan apa yang dia sebut sebagai hourglass model yang menggambarkan spektrum konflik tahap dan repons dalam resolusi konflik. Model ini menunjukan adanya penyempitan ruang politik yang menandai eskalasi konflik dan perluasan ruang politik pada deeskalsi konflik. Sebagaimana pebedaan antara penyempitan dan perluasan ruang politik, maka respon untuk resolusi konflik yang berbeda juga dimungkinkan. Model ini disebut oleh Rombston sebagai model Kontengensi dan Komplementer. Kontingensi merujuk pada pengertian natur dan tahap konflik dan komplementer merujuk pada pengertian kombinasi respon yang memungkinan yang harus dilakukan secara berama untuk memaksimalkan peluang keberhasilan dalam resolusi konflik. Transformasi konflik sebagaimana tampak dalam gambar mencakup level yang lebih dalam dari proses peacebuilding struktural. Penanganan konflik (conflict settlement) berkaitan dengan apa yang disebut sebagai peacemaking elit yang dalam bahas lain disebut sebagai negosiasi ataupun mediasi diantara pihak-pihak utama yang saling bertentangan dengan tujuan utama untuk menemukan kesepakatan yang dapat diterima dan saling menguntungkan. Penahanan konflik (conflict containment) meliputi peecekeeping preventif, pembatasan peran (war limitation) dan penjagan perdamaian paska gencatan sejata.



Hal-hal yang menyangkut proses dan teknik yang relevan dengan model eskalasi dan deeskalasi model hourglass dielaborasi dalam tabel di bawah ini.



Berbagai Pendekatan Terhadap Konflik
Konflik merupakan sesuatu yang instrinsik dan aspek perubahan sosial yang tidak dapat dihindari. Ia meupakan ekspresi dari keanekaragaman kepentingan, nilai-nilai dan kepercayaan yang muncul sebagai bentuk-bentuk baru yang dihasilkan oleh perubahan sosial. Bekerja menangani konflik sendiri sebenarnya merupakan masalah kebiasaan dan pilihan. Oleh karena itu adalah suatu kemungkinan bagi kita untuk merubah repson yang biasa dan mencoba respon yang lebih cerdas.
Salah satu bentuk kebiasaan yang tipikal dalam merespon konflik adalah prioritas yang berlebihan dalam mempertahankan kepentingan kita sendiri. Apabila si kepentingan A berbenturan dengan kepentingan B maka si A biasanya mengabaikan kepentingan B atau bahkan secara aktif menghancurkannya. Demikian pula pemimpin sebuah bangsa biasanya berharap untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya dan mengalahkan kepentingan bangsa lain apabila terlibat dalam konflik. Namun demikian cara semacam ini sesungguhnya bukan satu-satunya cara yang bisa dilakukan. Dibawah ini digambarkan skema yang menggambarkan lima pendekatan terhadap konflik yang dibedakan berdasarkan perbedaan tinggi rendahnya perhatian terhadap diri sendiri dan orang lain.




Gambar di atas menujukan beberapa model atau gaya. Pertama apabila seseoang memiliki perhatian yang sangat tinggi terhadap dirinya dan memiliki perhatian yang rendah terhadap orang lain. Inilah yang disebgaya kepuasan (cotending style). Kedua, gaya yang lebih memperhatikan kepentingan orang orang lain ketimbang kepentingan sdiri sendiri (yield style). Ketiga, model penghindaran (avoid style), yaitu model yang memiliki perhatian yang sangat rendah tehadap kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Keempat, keeimbangan dalam memperhatikan kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain yang membawa kepada sikap akomodatif dan kompromis. Sedang kelima, adalah alternatif yang banyak dilihat oleh banyak orang dalam resolusi konflik sebagai satu alternatif yang banyak ditawarkan, yaitu perhatian yang tinggi terhadap kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Hal ini berimplikasi pada penegasan terhadap kepentingan sendiri tetapi secara seimbang sadar akan aspirasi dan kebutuhan orang lain, untuk kemudian memunculkan energi untuk mencari problem solving yang kreatif sebagai jalan keluar.

Menang-Kalah, Kalah-Kalah dan Menang-Menang

selengkapnya..

SEJARAH DAN PERKEMBANGAN MEDIASI DI INDONESIA

Muhammad Saifullah


Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan antara para pihak yang bersengketa dengan dibantu oleh mediator. Mediator harus bersikap impartial dan neutral, karena ia dianggap sebagai ’kendaraan’ bagi para pihak untuk berkomunikasi, karena faktor komunikasi merupakan salah satu penyebab mengapa konflik tidak segera terselesaikan. Istilah mediasi ini baru populer di Indonesia pada tahun 2000-an. Jika melihat proses mediasi, akar-akar penyelesaian sengketa melalui cara ini sudah dikenal jauh sebelum kemerdekaan, dimana seseorang yang terlibat dalam persengketaan, cara menyelesaikan perkara penyelesaiannya dilakukan dengan cara damai dan melibatkan pihak ketiga. Pihak ketiga tersebut biasanya adalah tokoh masyarakat, tokoh agama atau pimpinan adat.

Cara penyelesaian sengketa dengan cara damai di atas, kini telah dilembagakan di Amerika sebagai salah satu alternatif dispute resolution. Di beberapa negara eropa, mediasi ini tumbuh berkembang dengan pesat, dan menjadi disiplin ilmu dalam perkuliahan. Di Indonesia mediasi kini menjadi sesuatu yang baru dan secara resmi digunakan dalam proses berperkara di Pengadilan Negeri melalui Perma No. 2 tahun 2003 tentang Proses Mediasi di Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Penggunaaan mediasi sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa dengan damai ini dilatar belakangi oleh banyak faktor, seperti kecenderungan manusia untuk menyelesaikan masalahnya dengan cara damai (win-win solution), proses berperkara di pengadilan yang lama dan biaya mahal, menumpuknya perkara di pengadilan, penyelesaian litigasi kadang menimbulkan masalah yang lebih panjang, dan lain sebagainya.

Tulisan ini akan mengfokuskan bagaimana sejarah dan perkembangan mediasi di Indonesia. Cakupan pembahasannya meliputi kajian terhadap akar-akar upaya damai yang dilakukan oleh masyarakat tempo dulu hingga di resmikannya mediasi sebagai cara penyelesaian perkara non litigasi, sampai perkembangannya sekarang (terbentuknyaa lembaga-lembaga mediasi di Indonesia).


Latar belakang munculnya mediasi di Indonesia

Penyelesaian damai terhadap sengketa atau konflik sudah ada sejak dahulu. Menurut mereka cara ini dipandang lebih baik dari pada penyelesaian dengan cara kekerasan atau bertanding (contentious). Di Indonesia penyelesaian sengketa dengan cara damai telah dilakukan jauh sebelum Indonesia merdeka. Seperti penyelesaian masalah melalui Forum Runggun Adat dalam masyarakat Batak. Pada intinya faorum ini menyelesaikan masalah dengan cara musyawarah dan kekeluargaan. Di Minangkabau, penyelesaian sengketa melalui lembaga hakim perdamaian yang mana hakim tersebut sebagai mediator atau fasilitator. Demikian pula di Jawa, penyelesaian sengketa dilakukan melalui musyawarah yang difasilitasi oleh tokoh masyarakat atau tokoh agama.

Di Indonesia penyelesaian konflik rumah tangga diselesaikan melalui Badan Penasihatan, Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4). Lembaga yang menjadi mitra Departemen Agama sejak tahun 1960 pada dasarnya adalah ’lembaga mediasi’ khusus sengketa rumah tangga. Suami dan istri yang sedang bersengketa diharapkan menggunakan BP4 sebelum mereka mendaftarkan perkaranya di pengadilan. Meskipun demikian terdapat perbedaan antara BP4 dan lembaga mediasi. Dalam proses penyelesaian sengketa BP4 lebih cenderung menasehati dan mendoktrin pasangan rumah tangga yang berkonflik. Peran penasehat di BP4 sangat dominan laksana ’ustadz’ atau kiai yang menasehati santrinya. Berbeda dengan mediasi, dimana mediator hanya sebagai fasilitator, tidak boleh menasehati, adil dan tidak memihak. Para pihak sebagai penentu untuk menyelesaikan masalahnya dan mencari solusinya. Persamaannya terletak pada upaya damai antara pihak-pihak yang bersengketa. Apa yang dilakukan masyarakat pada dasarnya adalah proses negosiasi dengan menggunakan teknik interest based bargaining, yang merupakan teknik negosiasi modern atau dikenal dengan istilah ”mediasi” yang sekarang populer dan diterapkan di berbagai negara.

Istilah mediasi (meditiation) pertama kali muncul di Amerika pada tahun 1970-an. Menurut Robert D. Benjamin (Direktor of Mediation and Conflict Management Services in St. Louis, Missouri) bahwa mediasi baru dikenal pada tahun 1970-an dan secara formal digunakan dalam proses Alternative Disopute Resolution / ADR di California, dan ia sendiri baru praktek menjadi mediator pada tahun 1979. Chief Justice Warren Burger pernah mengadakan konferensi yang mempertanyakan efektifitas administrasi pengadilan di Saint Paul pada 1976. Pada tahun ini istilah ADR secara resmi digunakan oleh American Bar Association (ABA) dengan cara membentuk sebuah komisi khusus untuk menyelesaikan sengketa. Dan pada perkembangan berikutnya pendidikan tinggi hukum di Amerika Serikat memasukkan ADR dalam kurikulum pendidikan, khususnya dalam bentuk mediasi dan negoisasi.

Pada dasarnya munculnya mediasi secara resmi dilatarbelakangi adanya realitas sosial dimana pengadilan sebagai satu satu lembaga penyelesaian perkara dipandang belum mampu menyelesaikan perkaranya sesuai dengan harapan masyarakat. Kritik terhadap lembaga peradilan disebabkan karena banyak faktor, antara lain penyelesaian jalur litigasi pada umumnya lamabat (waste of time), pemriksaan sangat formal (folrmalistic), sangat teknis (technically), dan perkara yang masuk pengadilan sudah overloaded. Disamping itu keputusan pengadilan selalu diakhiri dengan menang dan kalah, sehingga kepastian hukum dipandang merugikan salah satu pihak berperkara. Hal ini berbeda jika penyelesaian perkara melalui jalur mediasi, dimana kemauan para pihak dapat terpenuhi meskipun tidak sepenuhnya. Penyelesaian ini mengkedepankan kepentingan dua pihak sehingga putusannya bersifat win-win solution.

Latar belakang kelahiran mediasi diatas tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. Oleh karenanya keberadaan mediasi menjadi sangat penting di tengah semakin banyaknya perkara yang masuk di pengadilan. Cara penyelesaian sengketa jalur non litigasi ini sudah diperkenalkan sejak masa pemerintahan Belanda. Cara ini dilakukan dengan penerapan cara-cara damai sebelum perkara disidangkan. Pertama kali aturan-aturan tersebut diperkenalkan oleh pemerintahan Hindia Belanda melalui Reglement op de burgerlijke Rechtvordering atau disingkat Rv pada tahun1894. Disamping itu pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan beberapa aturan melalui surat edaran, peraturan-peraturan, dan perundangan-undangan. Tentang beberapa aturan tersebut dapat dibaca pada uraian tentang landasan yuridis mediasi di Indonesia.

Penyelesaian non litigasi ini telah dirintis sejak lama oleh para ahli hukum. Mahkamah Agung sebagai lembaga tinggi negara merasa paling bertanggungjawab untuk merealisasikan undang-undang tentang mediasi. MA menggelar beberapa Rapat Kerja Nasional pada September 2001 di Yogyakarta yang membahas secara khusus penerapan upaya damai di lembaga peradilan. Hasil Rakernas ini adalah SEMA No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai. MA juga menyelenggarakan temu karya tentang mediasi pada Januari 2003. Hasil temu karya tersebut adalah Perma No. 2 tahun 2003. Semangat untuk menciptakan lembaga mediasi sudah ada sejak Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Bagir Manan menyampaikan pidatonya pada 7 Januari 2003 dalam temu karya mediasi. Bagir Manan mendorong pembentukan Pusat Mediasi Nasional (National Mediation Center). Delapan bulan kemudian, tepatnya 4 September 2003 Pusat Mediasi Nasional resmi berdiri, sesaat sebelum Mahkamah Agung mengeluarkan Perma No. 2 tahun 2003.


Landasan Yuridis

Berdasarkan realitas, pelaksanaan mediasi di Indonesia dilakukan oleh lembaga peradilan, khususnya Pengadilan Agama dan non peradilan, seperti lembaga-lembaga mediasi, instansi pemerintah, advokat dan lain-lainnya. Atas dasar pelaku mediasi, maka mediasi di Indonesia dapat dikategorikan menjadi dua bentuk, yaitu mediasi yang dilaksanakan di dalam peradilan atau yang dikenal dengan court mandated mediation dan mediasi di luar peradilan. Mediasi yang dilaksanakan di pengadilan hingga saat ini memiliki sejarah landasan yuridis, yaitu Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2003. Hal ini berbeda dengan mediasi yang dilaksanakan di luar pengadilan yang aturannya kurang jelas sebagaimana yang dimuat dalam Undang-undang No. 30 tahun 1999. Untuk memahami landasan yuridis pelaksanaan upaya damai di Indonesia, maka penjelasannya didasarkan pada dua kategori diatas.

1. Beberapa aturan upaya damai di lembaga peradilan

Dalam tinjauan sejarah peradilan di Indonesia, penyelesaian sengketa melalui upaya damai atau dikenal dengan istilah “dading” telah diatur dalam pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg. dan beberapa peraturan lainnya. Namun upaya damai yang dimaksud dalam peraturan diatas berbeda dengan mediasi sebagaimana yang berkembang sekarang. Berikut beberapa aturan hukum tentang upaya mediasi di Indonesia.

a. HIR pasal 130 (=Pasal 154 RBg.=Pasal 31 Rv)

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda melalui Reglement op de burgerlijke Rechtvordering atau disingkat Rv. Pada tahun 1894 penyelesaian perkara dengan cara damai sudah diperkenalkan. Bunyi pasal diatas sebagai berikut : [1] jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan mereka, [2] Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akte) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak di hukum akan menepati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa, [3] Keputusan yang sedemikian itu tidak dapat diijinkan dibanding, [4] Jika pada waktu mencoba akan mendamaikan kedua belah pihak, perlu dipakai seorang juru bahasa, maka peraturan pasal yang berikut dituruti untuk itu.

b. UU No. 1 tahun 1974 Pasal 39, UU No. 7 tahun 1989 Pasal 65, KHI Pasal 115, 131 (2), 143 (1-2), 144, dan PP No. 9 tahun 1975 Pasal 32

Undang-undang, peraturan Pemerintah, dan KHI sebagaimana diatas menyebutkan bahwa hakim harus mendamaikan para pihak yang berperkara sebelum putusan dijatuhkan. Usaha untuk mendamaikan pihak yang bersengketa ini dilakukan pada setiap pemeriksaan. Agar upaya damai dapat terwujud, maka hakim wajib pula menghadirkan keluarga atau orang-orang terdekat dari pihak yang berperkara untuk di dengar keterangannya, sekaligus hakim meminta bantuan kepada keluarga agar mereka dapat berdamai. Jika upaya ini tetap gagal maka barulah dilakukan penyelesaian hukum secara litigasi.

c. SEMA No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai

Surat Edaran Mahkamah Agung No. 1 tahun 2002 merupakan tindak lanjut hasil Rapat Kerja Nasional I Mahkamah Agung yang dilaksanakan di Yogyakarta pada tanggal 24 – 27 September 2001. Surat edaran ini menekankan kembali pemberdayaan pengadilan tingkat pertama dalam menerapkan upaya damai (lembaga dading) sebagaimana ditentuan dalam pasal 130 HIR/pasal 154 RBg dan pasal-pasal lainnya dalam hukum acara yang berlaku di Indonesia, khususnya pasal 132 HIR/pasal 154 RBg. Hasil Rakernas ini pada dasarnya merupakan penjabaran rekomendasi Sidang Tahunan MPR tahun 2000, agar Mahkamah Agung mengatasi tunggakan perkara.

Isi SEMA No. 1 tahun 2002 ini mencakup [1] upaya perdamaian hendaklah dilakukan dengan sungguh-sungguh dan optimal, tidak sekedar formalitas, [2] melibatkan hakim yang ditunjuk dan dapat bertindak sebagai fasilitator dan atau mediator, tetapi bukan hakim majlis (namun hasil rakernas membolehkan dari hakim majlis dengan alasan kurangnya tenaga hakim di daerah dan karena lebih mengetahui permasalahan), [3] untuk pelaksanaan tugas sebagai fasilitator maupun mediator kepada hakim yang bersangkutan diberikan waktu paling lama 3 (tiga) bulan, dan dapat diperpanjang apabila terdapat alasan untuk itudengan persetujuan ketua PN, dan waktu tersebut tidk termasuk waktu penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud dalam SEMA No. 6 tahun 1992, [4] persetujuan perdamaian dibuat dalam bentuk akte perdamaian (dading), dan para pihak dihukum untuk mentaati apa yang telah disepakati, [5] apabila mediasi gagal, hakim yang bersangkutan harus melaporkan kepada ketua PN / ketua majlis dan pemeriksaan perkara dilanjutkan oleh majlis hakim dengan tidak menutup peluang bagi para pihak untukberdamai selama proses pemeriksaan berlangsung, dan [6] Keberhasilan penyelesaian perkara melalui perdamaian, dapat dijadikan bahan penilaian (reward) bagi hakim yang menjadi fasilitator/mediator.


d. Perma No. 2 tahun 2003

SEMA No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dipandang belum sempurna. Upaya damai atau penyelesaian sengketa melalui mediasi seharusnya diatur melalui peraturan perundang-undangan. Undang-undang yang telah ada hanya menyinggung mediasi sebagai salah satu alternative dispute resolution, yaitu UU No. 30 tahun 1999. Undang-undang ini lebih tepat dikatakan undang-undang tentang arbitrase, bukan tentang ADR, karena ketentuan ADR hanya dimuat dua pasal saja, yaitu pasal 1 butir 10 dan pasal 6 yang terdiri atas 9 ayat. Memperhatikan realitas seperti ini dan sambil menunggu adanya peraturan Perundang-undangan yang baru, Mahkamah Agung perlu menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 tahun 2003. Perma ini mengatur tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang meliputi pra mediasi, proses mediasi, tempat dan biaya mediasi. Sebanyak 18 pasal dalam perma ini semuanya mengatur mediasi yang integrated dalam proses berperkara di pengadilan, dan tidak menyinggung mediasi di luar pengadilan, karena memang dimaksudkan untuk penerapan mediasi dalam peradilan.


2. Mediasi Non Peradilan

Pada dasarnya keberadaan cara penyelesaian sengketa setua keberadaan manusia itu sendiri. Dalam proses ini manusia menyelesaikan masalahnya dengan cara yang sederhana. Salah satu cara yang ditempuhnya adalah penyelesaian sengketa dengan cara damai. Disamping ini, pada perkembangan berikutnya dikenal adanya lembaga peradilan yang memiliki tugas menyelesaikan perkara secara litigatif. Upaya penyelesaian yang dilakukan oleh masyarakat tempo dulu, pada hakekatnya adalah praktek mediasi dalam pengertian yang sederhana, dimana diantara para pihak yang bersengketa terdapat pihak ketiga yang menjadi mediator. Mediator pada waktu dulu adalah sesepuh desa, tokoh masyarakat atau orang yang terpandang yang memiliki sifat adil dan bijaksana..

Secara formal, landasan yuridis mediasi non peradilan hanya didasarkan pada Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Lembaga arbitrase dalam undang-undang ini, dibahas secara lengkap dan sempurna dalam 80 pasal, sedangkan alternative penyelesaian sengketa hanya disebut dalam 2 pasal, yaitu pasal Pasal 1 butir 10 dan pasa 6 yang terdiri atas 9 ayat. Pasal 1 butir 10 menyatakan bahwa Alternatif Pnyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di, luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, mediasi merupakan salah satu alternative penyelesian sengketa. Meskipun ia disebut secara jelas, namun pengertian mediasi dan lembaga APS lainnya tidak dijelaskan, karena menurut penjelesan undang-undang tersebut sudah dianggap jelas. UU No. 30 tahun 1999 ini lebih banyak mengatur arbitrase. Di Indonesia arbitrase bukanlah hal yang baru dan telah lama dikenal. Salah satu ketentuan yang dianggap merupakan sumber pokok pelaksanaan arbitrase sebelum berlakunya UU No. 30 tahun 1999 adalah ketentuan yang diatur dalam pasal 337 Reglement Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941; 44) atau pasal 705 reglement acara untuk daerah luar Jawa dan Madura (Rechsreglement Buingewesten, Staatsblad 1927;227). Dengan demikian maka sejak UU No. 30 tahun 1999 diundangkan, maka ketentuan sebelumnya dipandang tidak sah.

Berbeda dengan arbitrase, mediasi sebagaimana dimaksud dalam UU No. 30 tahun 1999 yang bersifat mediasi non peradilan belum ada ketentuan sebelumnya. Jika demikian maka wajar jika setelah diundangkannya UU No. 30 tahun 1999 perkembangan pranata APS (selain arbitrase) belum juga terwujud. Kehadiran lembaga-lembaga mediasi justru lahir menjelang dikeluarkanya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 11 September 2003. Lembaga atau pusat mediasi yang lahir menjelang diterbitkannya Perma adalah The Indonesian Mediation Center (Pusat Mediasi Nasional). Lembaga ini berdiri pada 4 September 2003 yang peresmiannya dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan.

Jika memperhatikan beberapa ketentuan mediasi non peradilan sebagaimana tercantum dalam UU No. 30 tahun 1999 maka prosedur mediasi ini berbeda dengan prosedur mediasi yang dilakukan oleh peradilan berdasarkan Perma No. 2 tahun 2003. Dalam bab II pasal 6 ayat 1 sampai 9 UU tersebut mengatur tentang prosedur penyelesaian sengketa oleh lembaga-lembaga APS sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1 ayat 10 yang meliputi konsultasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Jika memperhatikan Bab dan judul bab maka pasal 6 tidak mengatur arbitrase. Arbitrase seakan-akan dipisah dengan APS karena nama UU tersebut adalah “Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa”. Oleh karenanya UU ini lebih banyak mengatur tentang arbitrase daripada pranata APS.

Pasal 6 ayat 1 menerangkan bahwa “Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada iktikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri”. Ayat ini memberikan penegasan bahwa tujuan APS adalah penyelesaian melalui jalur non litigasi. Jalur ini bisa ditempuh jika para pihak yang bersengketa memiliki iktikad baik untuk melakukan perdamaian. Penyelesaian melalui jalur litigasi –meskipun menggunakan asas cepat dan biaya ringan—namun kenyataannya dalam penyelesaiannya membuthkan waktu lama dan biaya banyak. Salah satu faktornya karena banyaknya perkara yang masuk di pengadilan. Disamping itu jika perkara telah didaftarkan ke pengadilan maka iktikad berkurang jika dibandingkan melalui penyelesaian non litigasi.

Ayat 2 menjelaskan bahwa ”Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis”. Ayat ini menjelaskan bahwa perselisihan atau sengketa dapat diselesaikan oleh masing-masing pihak tanpa adanya keterlibatan pihak ketiga. Penyelesaian jenis ini disebut negosiasi. Dalam negosiasi para pihak sendirilah yang akan melakukan kompromi-kompromi atas masalah yang dihadapinya.

Selanjutnya ayat 3 berbunyi “Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator”. Jika dalam negoisasi para pihak mangalami kegagalan, maka mereka dapat melanjutkan penyelesaian sengketanya dengan melibatkan pihak ketiga, yang disebut penasehat ahli atau mediator. Keterlibatan pihak ketiga tentulah orang yang disepakati oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Ia harus orang yang adil, tidak memihak (netral) dan memiliki skill dalam mediasi.

Dalam penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi ini diberi batas waktu paling lama 14 hari sebagaimana tertuang dalam pasal 6 ayat 4 : ”Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator.

Namun jika mengalami kegagalan dalam mediasi, maka penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan cara arbitrase. Memperhatikan ayat 4 tersebut, maka arbitrase dipandang sebagai solusi setelah negosiasi dan mediasi mengalami kegagalan. Meskipun ayat ini menyebut pranata APS lain selain arbitrase, namun tidak ada pranata lain yang dipandang efektif dibanding arbitrase. Ketentuan ini diatur dalam ayat 5 sampai 9. Berdasarkan pasal-pasal diatas maka arbitrase dilakukan dalam waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari dan jika masih mengalami kegagalan maka dapat mengajukan penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase ad-hoc. Pemilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase ad-hoc ini meruapakan pilihan terakhir. Dengan cara ini maka sengketa diharapkan bisa selesai melalui arbiter.


Lembaga-lembaga Mediasi di Indonesia

Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa pelaksanaan mediasi di Indonesia dilakukan dengan 2 (dua bentuk), yaitu mediasi yang dilaksanakan di pengadilan (Court Connected Mediation System) dan mediasi yang dilaksanakan di luar pengadilan. Mediasi yang dilaksanakan di pengadilan, mediatornya berasal dari pengadilan atau dari luar pengadilan sesuai dengan kesepakatan para pihak. Sedangkan mediasi yang dilakukan di luar pengadilan dilakukan oleh lembaga atau pusat mediasi. Berikut ini beberapa mediasi yang dilaksanakan oleh lembaga peradilan, lembaga mediasi Perguruan Tinggi dan lembaga mediasi umum.

1. Mediasi di Peradilan Percontohan

Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 3 tahun 2003 yang diundangkan pada 11 September 2003 mengatur tentang mediasi yang bersifat integrated dalam proses beracara di pengadilan. Beberapa cara ditempuh oleh MA untuk mensosialisasikan Perma ini, seperti kunjungan ke beberapa pengadilan, kajian dan seminar tentang Perma tersebut. Disamping itu langkah awal yang dilakukan MA adalah memilih 4 pengadilan di Indonesia sebagai percontohan pelaksanaan mediasi. Pengadilan percontohan tersebut meliputi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Bengkalis dan Pengadilan Negeri Batusangkar. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan mediator pada lembaga peradilan tersebut, Mahkamah Agung bekerja sama dengan Pusat Mediasi Nasional (PMN) menyelenggarakan pelatihan bagi hakim calon mediator.

Untuk memberikan gambaran bagaimana mediasi di peradilan percontohan, berikut deskripsi hasil penelitian yang dilakukan oleh Indonesian Institute for Conflict Transformatioin (IICT). Penelitian ini dilakukan pada Nopember 2004, satu tahun setelah Perma No tahun 2003 berlaku efektif. Berdasarkan laporan IICT bahwa dari 656 kasus yang didaftarkan pada keempat pengadilan diatas, hanya 17 perkara yang dapat diselesaikan melalui jalur mediasi. Ini artinya baru 2,6 % perkara yang berhasil diselesaikan melalui perangkat Perma tersebut.

Di Pengadilan Jakarta Pusat perkara yang dicoba diselesaikan melalui jalur mediasi sebanyak 505 (lima ratus lima) perkara. Sembilan perkara diantaranya berhasil diselesaikan melalui jalur mediasi sedangkan sisanya ditempuh melalui litigasi. Untuk memenuhi mediator pada PN Jakarta Pusat ini, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 17 Desember 2003 telah menetapkan 7 (tujuh) mediator, yaitu Abdullah, Bismar Siregar, Dwiarso Budi, Hamdi, Mulyani, Saparudin Hasibuan dan Sugito. Jumlah mediator pada PN tersebut relatif banyak, dibanding PN yang lain. Para hakim ini juga sebelumnya telah mengikuti training mediator selama dua pekan yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung bekerjasama dengan IICT.

Sedangkan di Pengadilan Negeri Surabaya hanya satu perkara yang berhasil diselesaikan melalui jalur mediasi dari 115 (seratus lima belas) perkara yang masuk. Pada PN surabaya ini kasus terbanyak menyangkut urusan bisnis. Di Pengadilan Negeri Bengkalis hanya 4 (empat) perkara yang berhasil diselesaikan melalui jalur mediasi dari 26 (dua puluh enam) perkara yang didaftarkan. Keberhasilan yang lebih baik terjadi di Pengadilan Negeri Batu Sangkar. Sebagian besar perkara yang masuk ke PN Batusangkar adalah berkaitan dengan permasalahan ganti rugi tanah adat. Hal ini wajar saja, karena kasus yang banyak terjadi di daerah-daerah adalah kasus yang berkaitan dengan masalah adat yaitu ganti rugi tanah dan batas-batas tanah adat. Dari 10 (sepuluh) perkara yang didaftarkan, terdapat 3 (tiga) perkara yang dapat diselesaikan melalui jalur mediasi. Bahkan 2 dari tiga kasus tersebut dapat diselesaikan dalam waktu setengah hari oleh mediator Haswandi, S.H., M.HUM, yang juga Ketua PN Batusangkar.

Disamping 3 kasus yang berhasil melalui mediasi, terdapat satu kasus “kesepakatan semu” karena salah satu pihak tidak mau mengakui hasil kesepakatan. Sebenarnya pada proses mediasi sudah diperoleh kesepakatan damai antara para pihak di depan mediator. Namun dilain kesempatan sebelum kesepakatan itu ditetapkan oleh hakim pada sidang yang telah ditentukan melalui surat akta perdamaian, salah satu pihak mencabut kesepakatan. Karena faktor tersebut maka mediasi dipandang tidak berhasil karena tidak menghasilkan win-win solution.

Gambaran di atas menjelaskan bahwa lembaga peradilan belum mampu sepenuhnya melaksanakan Perma No. 2 tahun 2003. Bahkan di beberapa daerah masih terdapat Pengadilan Negeri yang belum melaksanakan Perma tersebut dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah persepsi terhadap eksistensi yang mengatur tentang mediasi yang hanya berdasarkan Peraturan MA. Padahal sudah ada aturan yang mengatur tentang upaya damai, seperti HIR pasal 130. Untuk penyempurnaan peraturan tersebut, saat ini MA sedang merevisi Perma No. 2 tahun 2003. Seiring dengan itu, pengadilan-pengadilan Negeri juga menata urusan internalnya, seperti pembangunan gedung khusus pelaksanaan mediasi.

2. Lembaga Mediasi Di Perguruan Tinggi

Salah satu respon positif terhadap Perma No. 2 tahun 2003 adalah pembentukan lembaga atau pusat-pusat mediasi di Perguruan Tinggi Agama (PTA). PTA ini merasa penting untuk membentuk lembaga mediasi karena upaya damai merupakan perwujudan dari perintah agama. Disamping itu ‘pengamalan agama’ kadang menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Di Semarang misalnya, telah berdiri Walisongo Mediation Center (WMC). Lembaga ini diresmikan pada 7 Agustus 2004 sebagai lembaga yang melaksanakan salah satu tri drama perguruan tinggi, yaitu pengabdian kepada masyarakat. Disamping WMC IAIN Walisongo, berdiri juga Centre of Alternative Dispute Resolution (CADRe) UKSW Salatiga, Pusat Mediasi STAIN Mataram, dan Pusat Mediasi IAIN Lampung. Kempat lembaga mediasi tersebut merupakan hasil kerjasama antara perguruan tinggi setempat dengan American State University (ASU) melalui Arizona Agricultural Mediation Program. Wujud kerjasama tersebut dilakukan dengan cara penandatanganan MoU antara rektor masing-masing perguruan tinggi dengan pihak ASU dalam bulan Agustus 2004.

Kerjasama antara ASU dengan Perguruan Tinggi Agama dalam pengembangan lembaga resolusi konflik ini bukanlah suatu kebetulan. Namun menurut Peter Suwarno (pakar resolusi konflik pada Program for Southeast Asian Studies) hal ini disebabkan karena [1] Perguruan Tinggi agama melahirkan sarjana-sarjana yang relatif aware (sadar) terhadap pentingnya kedamaian dan [2] konflik yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia sangat kental dengan nuansa agama. Agama dipandang memiliki peran strategis dalam penyelesaian konflik di Indonesia. Indonesia merupakan negara sarat dengan konflik, seperti konflik etnis, agama dan politik dan agama. Untuk konflik yang bernuansa agama telah terjadi di beberapa daerah di Indonesia, seperti kerusuhan yang terjadi di Poso (mulai 1998 –sekarang), Ambon (1999-sekarang), Kupang NTT (1998), Lampung dan konflik etnis di Papua baru-baru ini. Sedangkan konflik politik terjadi baik pada internal partai maupun eksternal partai, seperti konflik pada PDI Perjuangan dan PKB yang tak kunjung usai. Dengan demikian maka peran agama (baca : Perguruan Tinggi Agama) dipandang cukup strategis dalam penyelesaian konflik.

Pada perkembangan berikutnya, tahun 2006 WMC IAIN Walisongo bekerja sama dengan Wageningen University melakukan kerjasama dalam “Building Capacity of the State Institute for Islamic Studies and Associated Institutes for Conflict Prevention, Resolution and Peace Building Activities in Indonesia.” Salah satu target kegiatan tersebut adalah menggandeng perguruan tinggi di luar jawa untuk mendirikan pusat-pusat mediasi. Maka dipilihlah IAIN Ar Raniry Aceh, STAIN Pontianak dan STAIN Mataram (khusus untuk STAIN Aceh sudah terbentuk pada tahun 2004). Saat ini di dua tempat tersebut telah resmi berdiri Pusat mediasi Percepatan ke Arah Pemahaman antar Umat Agama dan Etnis (CAIREU -Center for Acceleration of Inter Religious and Ethnic Understanding) STAIN Pontianak dan Center for Conflict Resolution and Peace Studies IAIN AR Raniry Aceh. Lembaga-lembaga ini sebagai pusat penelitian tentang konflik, pertukaran informasi, resolusi konflik, dan wahana pengembangan pendidikan menuju perdamaian.

Kehadiran lembaga-lembaga mediasi di PTA tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Harapannya lembaga ini mampu tumbuh dan berkembang serta aktif dalam upaya mewujudkan perdamaian di tengah masyarakat. Harapan besar ini diimbangi dengan upaya meningkatkan profesionalitas lembaga-lembaga tersebut, dengan cara melatih para aktivisnya menjadi mediator. Misalnya, WMC IAIN Walisongo pada April 2007 mengirim 18 aktivisnya (3 diantaranya berasal dari 3 partner WMC) ke Belanda untuk training mediator di Wageningen dan Utrecht University. Harapan berikutnya, lembaga-lembaga tersebut mampu membangun perdamaian dan menyelesaikan konflik di tengah masyarakat.

Pusat-pusat mediasi yang dikembangkan oleh kalangan akademik ini memiliki corak lain dibanding pusat mediasi yang dikembangkan oleh praktisi hukum atau kelompok pengusaha. Pengembangan pusat-pusat mediasi di perguruan tinggi meliputi penyelesaian perkara (Conflict Resolution), Peace Building (membangun hidup damai) dan Community Empowerment (pemberdayaan masyarakat) dengan pendidikan, pelatihan dan pendampingan.

3. Lembaga Mediasi Umum (Non Peradilan dan Non PTA)

Lembaga atau pusat mediasi di Indonesia tumbuh dan berkembang, khususnya setelah diterbitkannya Perma No. 2 tahun 200. Meskipun aturan ini jelas mengatur tentang mediasi di peradilan. Jumlah ini akan semakin banyak seiring adanya tuntutan penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi.

Di Indonesia terdapat 2 (dua) lembaga ‘mediasi’ yang telah terakreditasi oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, yaitu The Indonesian Mediation Center (Pusat Mediasi Nasional) dan Indonesian Institute for Conflict Transformation (IICT) . Untuk lembaga yang kedua ini lebih tepat disebut lembaga riset karena bergerak di bidang transformasi dan manajemen konflik. Meskipun demikian lembaga ini juga melakukan aktifitas yang hampir sama dilakukan oleh mediasi, seperti menyelenggarakan pelatihan mediator bagi hakim-hakim pengadilan negeri.

Pusat Mediasi Nasional yang berdiri pada 4 September 2003 –menjelang ditetapkannya Perma No. 2 tahun 2003— merupakan salah satu lembaga mediasi yang telah terakreditasi oleh Pengadilan Tinggi Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. KMA/044/SK/VII/2004 tanggal 6 Juli 2004. Lembaga ini merupakan realisasi kebijakan program-program pimpinan MA dalam upaya meningkatkan upaya damai di luar pengadilan, sebagaimana yang disampaikan Ketua Mahkamah Agung RI dalam temu karya tentang mediasi pada 7 Januari 2003, yaitu ”Mendorong pembentukan Pusat Mediasi Nasional (National Mediation Center).

Menurut direktur PMN, Ahmad Fahmi Sahab, SE., PMN ini menangani resolusi sengketa, bukan resolusi konflik. Oleh karena itu bidang garapannya adalah sengketa komersial. Disamping itu pusat mediasi ini juga melakukan community development, meskipun kegiatan ini belum optimal.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan mediator, PMN bekerjasama dengan Mahkamah Agung memberikan pelatihan dan pendidikan. Training ini terbuka bagi umum, khususnya bagi hakim untuk menjadi mediator. Tempat pelatihan dilaksanakan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Kegiatan ini dibiayai oleh IALDF - AusAID (Indonesia Australia Legal Development Facility) dan pada fase pertama berlangsung pada bulan Desember 2005 sampai Mei 2006.

Agar program mediasi di Pengadilan Negeri bisa berguna sepenuhnya di seluruh Indonesia, PMN bertujuan untuk lebih lanjut membantu Mahkamah Agung dalam menyediakan pelatihan mediasi untuk para hakim (seluruhnya terdapat 2.800 hakim) diutamakan di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Implementasi dari kegiatan ini sepenuhnya tergantung pada donor pendukung.`

Follow up kegiatan tersebut di iringi dengan Program Post Monitoring untuk Pengadilan Wilayah Jakarta Selatan, Bandung dan Surabaya. Post Monitoring terdiri dari (1)Co-mediation mediator hakim dengan pelatih-pelatih PMN; dan (2) Refresh Course untuk mediator hakim, seperti diskusi dan pengelolaan materi yang dipandang kurang dipahami. Terdapat program tambahan untuk Pengadilan Wilayah Jakarta Selatan, sekelompok dari 20 mediator PMN yang terdaftar memberikan “jasa mediasi pro-bono” untuk kasus mediasi di Pengadilan Negeri. Kegiatan fase pertama dimulai pada bulan Desember 2005 sampai Mei 2006.

Disamping PMN, Indonesian Institute for Conflict Transformation (IICT) juga merupakan lembaga ‘mediasi’ (riset) yang telah terakreditasi. Lembaga ini berdiri pada tanggal 11 April 2002, dan bergerak di bidang transformasi dan manajemen konflik. Keberadaan IICT diharapkan dapat memberi sumbangsih bagi penyelenggaraan penyelesaian sengketa yang efektif. Sesuai dengan visinya lembaga ini mengembangkan pola-pola resolusi konflik untuk membangun masyarakat demokratis, harmonis, dan menghargai kemajemukan serta kesetaraan. Aktifitasnya terkait dengan mediasi di peradilan, ia melakukan kegiatan penelitian yang mendukung pengembangan resolusi konflik di berbagai wilayah di Indonesia dan penyelesaian sengketa alternatif yang berbasis pada kepentingan dan kebutuhan sebagai upaya pengembangan akses masyarakat terhadap keadilan (access to justice).

Lembaga yang saat ini dipimpin oleh seorang direktur eksekutif, yaitu Fatahillah AS, SH., MLI., M.Si. telah melakukan riset terhadap 4 pengadilan percontohan dalam melaksanakan perma No. 2 tahun 2003. Obyek riset ini meliputi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Bengkalis dan Pengadilan Negeri Batusangkar. Hasil penelitian tersebut kemudian disosialisasikan di beberapa tempat, sekaligus sosialisasi Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2003 itu sendiri. Kegiatan lain adalah memberikan pelatihan bagi para hakim Jawa Tengah. Jika PMN memberikan pelatihan bagi hakim-hakim pengadilan di wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur, IICT memberikan pelatihan bagi hakim-hakim pengadilan yang berasal dari Jawa Tengah.

Disamping dua lembaga yang terakreditasi diatas, respon untuk membentuk lembaga mediasi muncul dari kalangan asuransi. Mereka mendirikan “Biro Mediasi Asuransi” pada tanggal 12 Mei 2006. Tujuan lembaga ini untuk menyelesaikan sengketa antara pengguna asuransi dan lembaga asuransi melalui jalur non litigasi. Cara ini merupakan pilihan karena penyelesaian sengketa melalui jalur non litigasi dipandang lebih efektif dan efisien karena mengkedepankan putusan win-win solution.


Penutup

Sejarah pertumbuhan dan perkembangan mediasi di Indonesia merupakan sesuatu yang baru. Ia lahir pada tahun 2000-an dan dibarengi dengan lahirnya aturan tentang mediasi dan berdirinya lembaga-lembaga mediasi di Indonesia. Tentu tulisan ini belum sempurna dan masih membutuhkan data-data lain terkait dengan sejarah mediasi, khususnya lembaga-lembaga mediasi yang lahir belakangan sebagai bentuk respon terhadap pentingnya penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi.

selengkapnya..