Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

RESOLUSI KONFLIK: BERBAGAI MODEL DAN STRATEGI

Oleh M. Mukhsin Jamil


Memahami Konflik dan Kekerasan Kekerasan
Konflik dan kekerasan merupakan fenomena yang bisa kita lihat hampir setiap saat, terutama melalui pemberitaan berbagai media. Tawur antar kampung, perang antar suku, penggusuran di berbagai kota sampai konflik antar negara merupakan peristiwa konflik dan kekerasan yang kasat mata Dari peristiwa-peristiwa itu bisa kita ketahui bahwa konfllik dan kekerasan bisa saja terjadi dimanapun dan melanda komunitas manapun. Distribusi spasial atas kekerasan meliputi wilayah kota metropolitan sampai daerah pedalaman, masyarakat kota maupun desa, dengan latar belakang etnik, agama maupun sosial politik yang bermacam-macam. Oleh karena itu maka melakukan generalisasi atas kerusuhan dan kekerasan bisa menimbulkan kesalahan tertama ketika kita hendak mencari jalan keluar. Artinya hal-hal umum dan spesifik dari kerusuhan harus diketahui, sehingga jalan keluar yang umum dan spesifik dapat kita temukan. Untuk itu diperlukanlah juga penjelasan teoritik tentang fenomena kekerasan dari aspek sosiologis maupun psikologis.

Di lihat dari cakupan dan keluasannya , pengertian kekerasan (violence) dapat dibagi menjadi dua, yaitu pengertian kekerasan dalam arti sempit dan kekerasan dalam arti luas. Pengertian kekerasan dalam arti sempit bisa dilihat dari definisi Ted Robert Gurr tentang kekerasan dengan memfokuskan arti kekerasan dalam hubungannya dengan kekerasan politik (political violence). Gurr mendefinisikan kekerasan sebagai berikut :

“Semua tindak kekerasan kolektif dalam suatu komunitas politik terhadap rezim politik, aktor-aktornya (termasuk kelompok-kelompok di luar maupun di dalam pemerintahan) atau kebijakannya. Konsep itu menggambarkan serangkaian kejadian yang ciri pokoknya adalah penggunaan atau ancaman penggunaan tindak kekerasan … yang termasuk dalam pengertian itu adalah revolusi, … perang gerilya, kudeta dan kerusuhan”.


Pengertian kekerasan dalam arti luas diajukan oleh Johan Galtung yang mendefinsikan kekerasan sebagai “any avoidable Impediment to self realization” (sesuatu yang menyebabkan orang tidak bisa mengaktualisasikan diri secara wajar). Penghalang itu menurut Galtung sebenarnya dapat dihindarkan, dan oleh karenanya kekerasan sebenarnya bisa dihindarkan kalau penghalang itu disingkrikan.

Berdasarkan pengertian Galtung ini Mohtar Mas’ud membuat dua kategori kekerasan yaitu jenis kekerasan langsung atau personal, dan kekerasan tidak langsung atau kekerasan struktural. Kekerasan langsung adalah kekerasan yang dilakukan oleh satu atau sekelompok aktor kepada pihak lain. (“violence as action”); sedang kekerasan tidak langsung merupakan suatu yang sudah terbangun (“built-in”) dalam struktur (“violence as structur). Sementara kekerasan langsung dilakukan seorang atau sekelompok orang dengan menggunakan alat kekerasan seperti perkelahian, tawur antar kampung, kekerasan struktural “terjadi begitu saja” tidak ada aktor tertentu baik kelompok ataupun pribadi yang secara langsung melakukannya. Kekerasan dalam bentuknya yang kedua ini bisa kondisi masyarakjat dan anak-anak kampung akibat kemiskinan yang berupa lemahnya daya pikira akibat kurang gizi. Penderitaan mereka menurut Mas’ud adalah akibat dari struktur sosial ekonomi yang timpang dan tidan adil. Itulah kekerasan Struktural. Dengan kata lain, demikian menurut Mas’ud, kekrasan bukan hanya berujud keadaan yang menimpakan penderitaan atau kesengsaraan pada seseorang. Kekerasan juga bisa berujud halangan bagi seseorang untuk memperoleh kebaikan dan kebahagiaan.

Dengan preposisi semacam itu maka kekerasan sebagai sebuah tindakan, sebenarnya bisa dilakukan oleh siapapun baik oleh sekelompok orang, pejabat negara maupun para pengendali modal. Persoalannya kemudian adalah darimanakah kekerasan baik personal maupun struktural itu muncul dan bagaimanakah anatomi kekerasan itu bisa dijelaskan sehingga bisa dicari solusi damai.

Dengan demikian memahami fenomena kekerasan dan berusaha untuk mencari solusi damai memerlukan pemahaman yang komprehensif terhadap fenomena konflik dan kerusuhan. Hal ini berarti konflik dan kekerasan tidak bisa hanya dipahami dari satu latar belakang dan penyebab. Kekerasan bisa saja berurat kar pada masa lalu sejarah yang komplek, juga bisa bersumberdari realitas sosial, ekonomi, politik dan kultural yang kita hadapi.

Dari perspektif historis, kerusuhan dan kekerasan pada dasarnya merupakan gejala sejarah yang hampir sepanjang masa dapat dijumpai baik dalam sejarah masyarakat Barat maupun sejarah masyarakat Indonesia. Gejala kerusuhan yang sering muncul dalam proses sejarah umumnya terjadi pada masyarakat yang sedang mengalami krisis sebagai akibat dari proses perubahan yang mendesak baik pada bidang sosial, ekonomi, politik dan kultural. Pergeseran yang cepat dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kultural yang diikuti dengan perubahan struktur, kedudukan, fungsi dan ikatan-ikatan hubungan sosial sering menyebabkan timbulnya situasi krisis, ketegangan dan keresahan bagi lingkungan masyarakat yang sedang menghadapi perubahan-perubahan. Reaksi atas timbulnya krisis adalah protes terhadap ancaman yang ditimbulkannya yang bisa muncul dalam bentuk kerusuhan (riot) dan (violence). Karena itu munculnya gejala kerusuhan dan kekerasan sering mengiringi proses perubahan-perubahan besar atau menjadi bagian dari masa terjadinya pergolakan sosial (social upheaval), pemberontakan (rebellion, revolt), revolusi maupun pada masa krisis ekonomi dan krisis politik terjadi (S.N. Eisdendtad, 1978).

Fenomena kekerasan juga bisa dijelaskan melalui efek transformasi masyarakat dalam proses modernisasi seabagaimana diungkap oleh Galtung. Sumber meningkatnya fenomena kekerasan akhir-akhir ini menurut Galtung ada dalam transformasi sebagian besar masyarakat dunia dari masyarakat “nomads” yang sangat kuat dikuasi oleh struktur interaksi sosial “bheta” (hubungan sosial primer) yang tebal dan bersekala kecil menuju “monadisme” (monaism) yang didominasi oleh struktur interaksi sosial “alpha” (hubungan sosial sekunder) yang tipis dan bersekala besar (Nasikhun 1997).

Ada tiga proses penting di tengah dinamika masyarakat modern melalui proses modernisasi yang membawa implikasi keurusuhan dan kekerasan. Pertama, disintegrasi yang dialami oleh semakin banyak masyarakat dunia, yang telah memaksa integrasi masyarakat hanya dapat dipertahankan melalui pemusatan kekuasaan di tangan kecil kelompok penguasa. Kedua menibgkatnya kecenderungan masyarakat untuk menjawab dinamika perubahan itu melalui proses destrukturisasi (destructuration) dan proses dekulturasi (deculturation) dan Ketiga, sebagai akibat dari keduanya berkembang situasi “atomie” dan “anomie” yang menghasilkan ketidakpastian, prustasi, rasa takut, disorientasi dan hilangnya makna hidup pada tingkat kehidupan pribadi.

Situasi “atomie” dan “anomie” berimplikasi pada empat hal. Pertama, kecenderungan terjadinya pergeseran fokus interaksi sosial dari hak-hak dan tanbggung jawab (yang merupakan campuran antara orientasi egoistis dengan altruisme) menuju suatu orientasi egoistis yang selalu mempertanyakan sesuatu berdasarkan “apakah ada sesuatu untuk saya”. Kedua, meningkatnya korupsi dan manipulasi kekuasaan pada semua jenjang hirarkhi organisasi yang pada dasarnya merupakan suatu cara untuk menggunakan organisasi bagi kepentingan egoistis. Ketiga, sebagai akibat dari menurunnya makna organisasi sosial (social nets) bersama dengan meningkatnya peranan dan makna individu (social knots) yang kemudian terjadi adalah meningkatnya mobilitas individu keluar dari dan masuk ke dalam organisasi tanpa komitmen moral. Sedangkan keempat, sebagai konsekuensi final dari semuanya adalah meningkatnya kekerasan pada semua jenjang organisasi akibat hilangnya kekuatan norma absolut yang mampu menghalangi individu keluar dari dab meninggalkan komitmen moral terhadap orang lain dan terhadap masyarakat (Nasikhun 1997).

Kekerasan juga bisa dilihat dari perspektif konflik elit. Sebagaimana kita ketahui sejak reformasi selain terjadi kerusuhan-kerusuhan lokal, kondisi sosial politik di Indonesia ditandai dengan dua gejala yang amat mencolok dalam tingkah laku politik (Agus Subagyo, 2001), yakni konflik politik (political conflict) dan kekerasan politik (political violence). Dalam kaitan ini konflik elit merupakan wujud dari konflik politik yang sebenarnya tidak lain adalah wujud dari perjuangan untuk memperoleh, mempertahankan dan memperbesar kekuasaan (struggle for power). Tarik menarik kepentingan politik elit itu di satu sisi bisa memberikan kontribusi bagi proses demokratisasi, namun juga bisa memunculkan pengkotakan-kotakan masyarakat yang akibatnya cenderung menimbulkan kekerasan kolektif

Bentuk-bentuk kekerasan dalam masyarakat dengan berbagai dimensi yang terkait di dalamnya sebagaimana telah diuraikan di atas dapat digambarkan dalam sebuah tabe ringkas berikut :



Sementara para sosiolog memfokuskan perhatian pada aspek-aspek sosiologi dan kebudayaan dari fenomena kekerasan dan kerusuhan para psikolog melihat fenomena kekerasan dari aspek kejiawaan manusia. Menurut Arron T. Back (Kartono Muhamad, 2001), kekerasan terjadi melalui dua jalur; cold calculated violence, dan hot reactive violence. Dalam cold calaculated violence, kekerasan dijadikan alat (instrumen) untuk mencapai tujuan, dan pada umumnya tujuan politik. Beck memberikan contoh kekerasan jenis ini sebagaimana kekejaman Jengis Kan sewaktu menyerbu Asia Tengah dan kekejaman yang dilakukan oleh Partai Komunis Rusia, Cina dan Kamboja (Pol Pot) terhadap lawan-lawan politiknya. Juga kekejaman Nazi terhadap orang-orang Yahudi. Dalam peristiwa tersebut, kekerasan bersifat instrumental untuk mencapai tujuan politik. Kekerasan merupakan praktek dari filsafat Mecheavelli “tujuan menghalalkan segala cara”.

Kekerasan yang menyertai proses-proses politik di Indonesia akhir-akhir ini juga dapat dikatakan sebagai bentuk cold calculated violence. Dalam cold calculated violence, pelaku kekerasan secara individu tidak harus mempunyai dendam pribadi kepada para korban karena kekerasan hanyalah instrumen untuk mencapai tujuan politis. Para pemimpin mereka seperti juga Hitler, Stalin, dan Pol Pot secara sistematik menanamkan kepada benak pengikutnya bahwa darah musuh mereka itu “halal” untuk ditumpahkan, meskipun secara pribadi pengikutnya tidak memendam kebencian (Kartono Muhamad, 2001).

Jalur kekerasan kedua (hot reactive violence), terdapat kebencian yang terpendam selama bertahun-tahun. Secara lambat laun terjadi “homogenisasi terhadap lawan, kemudian terjadi proses “dehumanisasi”. Lawan tidak lagi dilihat sebagai manusia yang perlu mendapat empati. Dan akhirnya terjado “demonisasi” yaitu lawan dianggap sebagai “setan”. Ketika perasaan itu sudah merasuk, maka kejadian sekecil apapun yang dilakukan oleh lawan yang dianggap tidak berkenan di hati mereka, akan menimbulkan reaksi kekerasan yang hebat dan kejam.

Kekerasan jalur kedua ini bisa dilihat pada kasus pembantuan suku Madura di Kalimantan, dab Perusakan milik Tionghoa tahun 1998 dan juga pembakaran rumah-rumah ibadah pada saat konflik antar umat beragama. Dalam kejadian-kejadian itu terjadi homogenisasi (semua orang Madura, atau semua orang Tionghoa, atau semua orang Kristen atau Islam adalah lawan). Kemudian terjadi dehumanisasi dimana lawan tidak lagi dilihat sebagai manisia bahkan di-demonisasi, dimana lawan disamakan dengan “setan” yang harus dijauhi bahkan bila mampu diperangi.

Secara umum baik kekerasan yang memunculkan baik melalui jalut pertama maupun jalur kedua atupun lainnya menurut Beck diakibatkan oleh dan berakar pada gangguan kognitif. Seluruh fenomena kekerasan itu menunjukan adanya gangguan kognitif dari para pelakunya. Problem kognitif itu menurut Beck disebabkan oleh adanya penonjolan egoisme dan individualisme. Dua hal ini menunjukan ciri primordialisme atau keprimitifan. Secara ringkas problem kognitif pada pelaku kekerasan melahirkan kekerasan dengan alur sebagai berikut :



Resolusi Konflik dan Kekerasan
Margaret Mead (1940) sebagaimana dikutip Andi Widjjanto (2001) menyatakan bahwa perang (kekerasan sistematis) adalah suatu temuan sosial yang dipelajari secara sengaja. Pendapat Mead ini secara lugas mengungkapkan kekerasan sebagai produk sosial. Jika kekerasan dipandang sebagai produk sosial yang ditemukan (invented) manusia dalam suatu konteks dinamika sejarah, maka persoalannya adalah dapatkah kekerasan dilenyapkan (disinvented) dalam periode sejarah yang lain?
Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa kekerasan tidak berakar pada satu dimensi kehidupan manusia. Unsur-unsur psikologis, kultural, sosial, ekonomi dan politik turut melahirkan konflik sosial dan kekerasan. Dengan kenyataan inilah agaknya sulit ditemukan pemikiran yang secara tegas menyatakan akan hilangnya konflik dan kekerasan dalam sejarah kehidupan manusia. Kebenyakan dari dari solusi konflik yang diajukan oleh kebanyak pemikir bukanlah meniadakan konflik itu sendiri tetapi mentransformasi konflik itu menjadi energi positif bagi upaya perbaikan-perbaikan. Kenyataan ini pula yang melahirkan dua pandangan yang berbeda tentang konflik sosial. Pertama, pandangan Mayo yang menyatakan bahwa konflik sosial sebagai gejala abnormal. Dalam konflik itu ditemukan penyimpangan patologis dari sejumlah unsur dalam struktur sosial. Pandangan ini mengandaikan harmoni sebagai kondisi yang ideal dalam kehidupan manusia. Kedua, Pandangan Siemmel-Coser, yang menyatakan bahwa konflik akan menjadi fungsional jika muncul sebagai reaksi atas perilaku pihak pengingkar konsensus mengenai kepentingan dan kesejahteraan umum. Karena yang ingin dicapai melalui konflik semacam ini adalah tatanan hidup sosial sesuai kesepakatan bersama. Pendapat kedua ini mengandaikan adanya dimensi etik konflik sosial. Dimensi etis konflik itu sebagai mana diungkapkan Vidal, ditemukan dalam faktor positif konflik yang bisa mengubah dan memperbaiki kehidupan sosial masyarakat. Perbaikan keadaan sosial yang memprioritaskan nilai-nilai kebenaran, kejujuran, tanggung jawab dan kesejahteraan umum merupakan sasaran utama konflik sosial.

Kalau konflik tidak bisa dihilangkan persoalannya kemudian adalah bagaimana konflik itu dikelola agar konflik menemukan dimensi etisnya. Dalam menjawab permasalahan ini para ahli terbelah ke dalam kelompok pasif dan konstruktivis. Kaum pasifis seperti Erasmus of Rotteram (1514), Emeric Cruce (1623), William Penn (1963), John Belers (1710), dan Abbe de Saint-Piere (1712) berpendapat bahwa penggunaan instrumen kekerasan merupakan alternatif solusi masalah-masalah sosial yang selalu dihadapi umat manusia. Sedangkan kalangan konstruksionis berpendapat bahwa kekerasan sesungguhnya dapat dilenyapkan dalam perjalanan peradaban manusia. Lenyepanya beberapa produk sosisal beruapa kekerasan seperi perbudakan dan diskriminasi rasial bagi kaum konstruksionis merupakan contoh kemungikinan dilenyapkannya kekerasan dalam kehidupan umat manusia (Andi Widjajanto, 2001).
Ada dua kerangka berpikir yang berusaha menjawab kemungkinan lenyapnya kekerasan dalam kehidupan manusia yang semakin beradab. Pertama, kerangka yang ditawakan John Mueller (1989) dalam bukunya Retreat From Doomsday: The Obsolence of Major War. Dalam hal ini Mueller berpendapat bahwa pengalaman kekerasan traumatik yang dialami suatu bangsa dapat menghasilkan suatu kesadaran kolektif tentang perlunya menempatkan kekerasan bersenjata sebagai suatau kegiatan terlarang.
Kerangka berpikir kedua adalah tesis Imanuel Kant tentang democratic peace yang antara lain menyatakan bahwa negara demokratis tidak pernah berperang dengan negara demokratis lainnya. Tesis ini mengandaikan bahwa perdamaian demokratic adalah sebuah kondisi yang memungkinkan lenyapnya konflik dan kekerasan dalam kehidupan bangsa-bangsa. Tesis democratic peace dapat diuji dengan melihat kasus-kasus konflik yang terjadi pada sistem internasional.
Kembali lagi persoalannya adalah pada bagaimana konflik harus dikelola bukan membiarkannya sedemikian rupa, walaupun konflik pada ujungnya akan menghasilkan kesadaran kolektif tentang perlunya menghindari kekerasan. Hal ini karena pengalaman traumatik sendiri sebarnya perlu dicegah sedemikian rupa. Untuk itulah diperlukan model-model resolusi konflik. Dengan mengacu kepada negara multi etnis, Tubagus Aruf Faturahman (2001) menyodorkan lima model regulasi konflik.
Pertama, partisi, yaitu pemisahan secara tegas antara satu etnis dengan etnis lainn. Model ini jarang sekali digunakan dan hal ini hanya dimungkinkan apabila sebuah etnis benar-benar hidup terpisah dari garis demarkasi negara.
Kedua, model dominasi, yaitu satu dominasi etnis terhadap etnis lain, biasanya melalui kekerasan atau atau tindakan diskriminatif. Model ini mendasarkan pada asumsi kekerasan sebagai alternatif mengakhirin kekerasan lebih lanjut.
Ketiga, melalui proses asimilasi. Model ini adalah bentuk halus dan maju dari model kedua yang dilakukan secara alami. Keempat melalui model konsolidasi. Model ini mengakui eksistensi setiap perbedaan yang ada dan mencoba untuk mengharmonikan perbedaan perbedaan itu. Dalam model ini kelompok mayoritas bukan pihak yang menentukan dalam berbagai hal, tetapi berbagai ketentuan diputuskan berdasarkan konensus dan kompromi.
Kelima, memilik keserupaan dengan model keempat, yaitu pengakuan terhadap semua etnis, tetapi tidak memiliki keterkaitan dengan hal-hal yang sifatnya politis. Model ini disebut dengan sinkretisme. Negara dalam hal ini berusaha mengakomodasikan dan mengekspresikan berbagai perbedaan yang ada dan menganggap semua etnis yang ada memiliki posisi yang sama dan diperlakukan secara adil.
Versi lain tentang resolusi konflik adalah apa yang ditawarkan Galtung. Galtung sebagaimana dikutip Tubagus (2001) menawarkan tiga model yang berkaitan satu sama lain yaitu peace keeping, peace building, dan peace making. Ketiga Kerangka model itu bisa dilihat dengan Tabel di bawah ini.



Model peace keeping (operasi keamanan) yang melibatkan aparat keamanan dan militer perlu diterapkan guna meredam konflik dan menghindarkan penularan konflik terhadap kelompok lain. Peace building adalah strategi atau upaya yang mencoba mengembalikan keadaan destruktif akibat kekerasan yang terjadi dalam konflik dengan cara membangun jembatan komunikasi antar pihak yang terlibat konflik. Peace building lebih menekankan pada kualitas interaksi darpiada kuantitas. Karena itu lima hal yang harus diperhatikan dalam tahapan ini;
Pertama, inetraksi yang terjadi harus antara pihak-pihak yang memiliki kesejajaran status. Kedua, adanya dukungan dari lingkungan sosial. Ketiga komunikasi terjadi secara intim (bukan kasual). Kempat proses komunikasi harus menyenangkan kedua pihak dan keilma, ada tujuan yang hendak dicapai bersama.
Sedangkan peace making adalah upaya negosiasi antara kelompok kelompok yang memiliki perbedaan kepentingan. Ada beberapa metode bisa dipilih pada tahapan negosiasi ini. Pertama, melalui kekerasan, kedua melalui hukum atau pendekatan konvensional. Pendekatan hukum akan efektif dilakukan pemerintah yang memiliki legitimasi. Tanpa legitimasi, negara akan kehilangan kewenangan dan kewibawaan dalam mengelola negara termasuk rekonsiliasi sebagai bagian resolusi konflik. Dalam kasus dimana negara tidak memilik legitimasi, pendekatan konvensional pasti gagal dan harus dicari alternatif solusi melaui altrenatif despute resolution (ADR) yang berupaya menyelesaikan konflik dengan cara langsung mengarah pada persoalan utama, kendati secara hukum illegal. Model ini juga dikenal sebagai Interactive Conflict Resolution. Di bawah ini akan diuraikan aspek-aspek teoritis dan praktis mengenai resolusi konflik.
Diantara sejumlah buku yang membahas resolusi konflik, buku berjudul Contemporary Conflict Resolution karya bersama Oliver Ramsbtom, Tom Woodhouse dan Hugh Miall, merupakan tulisan yang sangat komprehensif. Buku ini sebagaimana komentar Chris Mitchel dari George Mason University, merupakan karya terbaik dan satu-satunya volume yang membahas lapangan analisis dan resolusi konflik sampai akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21. Sebagai buku terkemuka, komprehensif dan koheren, buku ini memperkenalkan berbagai perspektif, model serta bebagai respon atas isu-isu konflik kontemporer yang berkaitan dengan proses pencegahan konflik, resolusi konflik dan proses peace builing yang kini tengah berkembang sebagai agenda internasonal. Buku ini didasarkan atas survey terhadap model kerangka kerja berbagai komponen resolusi konflik, menghubungkannya satu sama lain untuk kemudin menjadi bangunan resolusi konflik kontemporer dengan pondasi teori-teori klasik. Uraian berikut ini merupakan survey singkat mengenai model resolusi konflik yang banyak didasarkan pada karya diatas. Sebagai jembatan untuk pembekalan terhadap masalah yang lebih teknis adaptasi dan pengakyaan hal-hal teknis didasarkan pada buku Working With Conflict: Skills and Strategy For Action, karya Simon Fisher dkk..
Sebelum mengurai secara rinci mengenai model resolusi konflik perlu diketahi bahwa ada perdebatan diantara conflict resolver dan conflict transformer; yaitu mereka yang berpegang pada konsep reolusi konflik di satu sisi dan mereka yang berpegang pada konsep transformasi konflik pada sisi yang lain. Saya sepakat dengan posisi yang diambil dalam buku di atas yaitu bahwa keduanya seungguhnya bukan dua konsep yang saling berlawanan, tetapi melengkapi satu sama lain. Transformasi konflik, demikian menurut Rambston merupakan level yang lebih mendalam dari tradisi resolusi konflik dari pada sebagai usaha yang terpisah. Dalam pandangan Rambston tidak ada masalah mengenai payung apa yang digunakan pada akhirnya seperti regulasi konflik (conflict regulation), manajemen konflik (conflict managemen termasuk reolusi konflik (conflict resolution) dan transformasi konflik (conflict transformation), sejauh konsep itu secara koheren mencakup substansi dari kerja menangani konflik.
Resolusi konflik dan transformasi konflik secara esensial sesungguhnya bekerja dalam satu medan yang sama. Buku karya Duke (1996) yang berjudul Resolving Public Conflict : Transforming Community and Governence menunjukan kesamaan esensial antara dua konsep itu. Adapun penggunaan konsep resolusi konflik dalam tulisan ini didasarkan atas beberapa alasan. Pertama, konsep ini merupakan gagasan yang muncul paling dini yang digunakan untuk mendefinsikan penanganan konflik sebagai area baru (lihat Jurnal of Conflict Resolution: 1957). Kedua, term ini merupakan term yang secara luas dipakai oleh sangat banyak analis dan praktisi, sehingga hampir-hampir tidak ada perubahan penting tentang konsep ini dari tahun ke tahun hingga sekarang. Ketiga, term resolusi konflik merupakan term yang paling terkenal di media maupun di dalam kehidupan publik secara umum.

Model Kerangka Kerja
Embrio resolusi konflik yang menghubungkan antara konflik, kekerasan dan kedamaian adalah pemikiran Johan Galtung. Galtung merupakan salah seorang pendiri are resolusi konflik ini. Pemahamannya yang luas mengenai akar-akar kekerasan struktural dan cultural sebagaiaman telash sedikit disinggung di atas, sangat baik dan berguna bagi siapa saja yang ingin menggambarkan dan mengembangkan resolusi konflik secara relational, simetris dan psikologis.
Di akhir tahun 1960-an, Johan Galtung (1969) menawarkan model konflik yang mencakup konflik simetris dan konflik asimetris. Dia menyarankan bahwa konflik dapat dilihat sebagai segitiga vertikal contradiction (C) Attitude (A) dan Behavior (B). Kontradiksi (contradiction), merujuk pada sesuatu yang tersembunyi dan berada di bawah situasi konflik, termasuk kenyataan ataupun persepsi tentang ketidaksejajaran tujuan (incompatibility of goals) diantara para pihak di dalam konflik. Atau menggunakan terminologi Mitchel “mis-match between social values and social structure”




Di dalam konflik yang simetris, kontradiksi diakibatkan oleh para pihak, kepentingan mereka dan pertentangan kepentingan diantara mereka. Sedangkan dalam konflik yang asimetris, konflik diakibatkan oleh para pihak, hubungan mereka dan konflik kepentingan yang terdapat dalam relasi antar mereka. Juga termasuk sikap dan persepsi para pihak dan salah persepsi diantara satu sama lain. Semua itu dapat bersifat positif ataupun negatif, Akan tetapi dalam konflik kekerasan para pihak cenderung untuk mengembangkan berbagai stereotype satu sama lain dan sikap mereka sangat dipengaruhi oleh berbegai emosi seperti takut, marah, kebencian, dan kemarahan. Sikap termasuk di dalam nya elemen-elemen emotif (perasaan), kognitif (kepercayaan) dan konatif (keinginan). Para analis yang menekankan aspek-aspek subjektif itu menyatakan pandangan ekspresif mengenai sumber-sumber konflik. Sementara perilaku (behavior) adalah komponen ketiga yang mencakup kerjasama atau pemaksaan, bahasa tubuh yang menandakan persatuan (conciliation) atau permusuhan (hositility). Perilaku konflik kekerasan ditandai dengan ancaman, paksaan, dan penyerangan destruktif. Para analis yang menekankan aspek-aspek obyektif seperti hubungan struktural, pesaingan kepentingan material atau perilaku lebih mengungkapkan pandangan instrumental sumber-sumber konflik.
Galtung menyatakan bahwa tiga komponen itu harus dihadirkan secara bersama-sama dalam meliha konflik secara menyeluruh. Sebuah struktur konflik tanpa konflik sikap dan perilaku merupakan konflik laten ataupun struktural. Galtung melihat konflik sebagai sebuah proses dinamis dimana struktur, sikap dan perilaku terus menerus merubah dan mempengaruhi satu sama lain. Sebagai perkembangan dinamis, konflik menjadi bentuk konflik yang manifes ketika kepentingan berbagai pihak berbenturan atau ketika hubungan diantara mereka menjadi lebih bersifat opresif. Para pihak yang terlibat dalam konflik kemudian membentuk berbagai struktur untuk mencapai kepentingan mereka. Mereka mengembangkan sikap permusuhan dan perilaku konfliktual. Dari sinilah kemudian bentuk konflik mulai berkembang dan intensif. Sebagaimana konflik berlangsung, sangat mungkin juga terjad perluasan konflik kepada pihak-pihak lain, lebih mendalam dalam lebih tersebar, yang memunculkan konflik sekunder diantara pihak yag lerlibat atau di dalam pihak lain yang ingin memperoleh keuntungan dari konflik itu. Pada akhirnya pemecahan konflik harus melibatkan serangkaian perubahan dinamis yang meliputi pencegahan perluasan perilaku konflik (de-escalation of conflict behavior), perubahan sikap dan transformasi hubungan (relationship) atau benturan kepentingan yang semua itu merupakan inti dari struktur konflik.
Terkait dengan gagasan di atas adalah pemikiran Galtung mengenai pembedaan antara kekerasan langsung (direct violence) seperti anak dibunuh, kekerasan stuktural (structural violence) seperti anak mati karena kemiskinan, dan kekerasan kultural (cultural violence) yaitu apapun yang mengikat kita untuk melakukan justifikasi terhadap kekerasan. Kita menghentikan kekerasan langsung dengan merubah perilaku konflik (conflic behavior). Untuk menghentikan kekerasan struktural dengan melakukan merubah kontradiksi stuktural dan ketidak adilan. Sedangkan untuk merubah kekerasan kultural adalah dengan merubah berbagai sikap. Semua respon itu terkait dengan strategi yang lebih luas dari peacekeeping, peacebuilding dan peacemaking. Galtung mendefinsikan kedamaian negatif (negative peace) sebagai penghentian kekerasan langsung (direct violence) dan kedamaian positif (positive peace) sebagai pemecahan kekerasan struktural dan kultural.

Eskalasi dan Deeskals Konflik
Proses eskalasi konflik adalah kompleks dan tidak dapat diprediksi. Isu-isu baru dan pihak yang terliba dalam konflik dan muncul, pertarungan dapat menjadi pilihan taktik dan tujuan. Konflik sekunder dan spiral, kemudian memperburuk situasi. Model eskalasi konflik dibawah ini menggambarkan bagaimana konflik berpindah dari satu tahap ketahap lain yang membentuk kurvaa normal eskalasi dan deeskalasi konflik. Tahap perubahan itu dimulai dari perbedaan yang merupakan bagian dari seluruh perkembangan sosial, berkembang melalui bibit-bibit kontradiksi yang mungkin tampak atau bersifat laten, naik lagi melalui proses polarisasi dimana salng pertentangan antar para pihak mulai tampak dan puncaknya adalah pecahnya kekerasan langsung (dirct violence) ataupun perang.



Model Gelas Pasir : Spektrum Respon Resolusi Konflik
Selain model kurva yang ditawarkan Galtung, Rombston menawarkan apa yang dia sebut sebagai hourglass model yang menggambarkan spektrum konflik tahap dan repons dalam resolusi konflik. Model ini menunjukan adanya penyempitan ruang politik yang menandai eskalasi konflik dan perluasan ruang politik pada deeskalsi konflik. Sebagaimana pebedaan antara penyempitan dan perluasan ruang politik, maka respon untuk resolusi konflik yang berbeda juga dimungkinkan. Model ini disebut oleh Rombston sebagai model Kontengensi dan Komplementer. Kontingensi merujuk pada pengertian natur dan tahap konflik dan komplementer merujuk pada pengertian kombinasi respon yang memungkinan yang harus dilakukan secara berama untuk memaksimalkan peluang keberhasilan dalam resolusi konflik. Transformasi konflik sebagaimana tampak dalam gambar mencakup level yang lebih dalam dari proses peacebuilding struktural. Penanganan konflik (conflict settlement) berkaitan dengan apa yang disebut sebagai peacemaking elit yang dalam bahas lain disebut sebagai negosiasi ataupun mediasi diantara pihak-pihak utama yang saling bertentangan dengan tujuan utama untuk menemukan kesepakatan yang dapat diterima dan saling menguntungkan. Penahanan konflik (conflict containment) meliputi peecekeeping preventif, pembatasan peran (war limitation) dan penjagan perdamaian paska gencatan sejata.



Hal-hal yang menyangkut proses dan teknik yang relevan dengan model eskalasi dan deeskalasi model hourglass dielaborasi dalam tabel di bawah ini.



Berbagai Pendekatan Terhadap Konflik
Konflik merupakan sesuatu yang instrinsik dan aspek perubahan sosial yang tidak dapat dihindari. Ia meupakan ekspresi dari keanekaragaman kepentingan, nilai-nilai dan kepercayaan yang muncul sebagai bentuk-bentuk baru yang dihasilkan oleh perubahan sosial. Bekerja menangani konflik sendiri sebenarnya merupakan masalah kebiasaan dan pilihan. Oleh karena itu adalah suatu kemungkinan bagi kita untuk merubah repson yang biasa dan mencoba respon yang lebih cerdas.
Salah satu bentuk kebiasaan yang tipikal dalam merespon konflik adalah prioritas yang berlebihan dalam mempertahankan kepentingan kita sendiri. Apabila si kepentingan A berbenturan dengan kepentingan B maka si A biasanya mengabaikan kepentingan B atau bahkan secara aktif menghancurkannya. Demikian pula pemimpin sebuah bangsa biasanya berharap untuk mempertahankan kepentingan nasionalnya dan mengalahkan kepentingan bangsa lain apabila terlibat dalam konflik. Namun demikian cara semacam ini sesungguhnya bukan satu-satunya cara yang bisa dilakukan. Dibawah ini digambarkan skema yang menggambarkan lima pendekatan terhadap konflik yang dibedakan berdasarkan perbedaan tinggi rendahnya perhatian terhadap diri sendiri dan orang lain.




Gambar di atas menujukan beberapa model atau gaya. Pertama apabila seseoang memiliki perhatian yang sangat tinggi terhadap dirinya dan memiliki perhatian yang rendah terhadap orang lain. Inilah yang disebgaya kepuasan (cotending style). Kedua, gaya yang lebih memperhatikan kepentingan orang orang lain ketimbang kepentingan sdiri sendiri (yield style). Ketiga, model penghindaran (avoid style), yaitu model yang memiliki perhatian yang sangat rendah tehadap kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Keempat, keeimbangan dalam memperhatikan kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain yang membawa kepada sikap akomodatif dan kompromis. Sedang kelima, adalah alternatif yang banyak dilihat oleh banyak orang dalam resolusi konflik sebagai satu alternatif yang banyak ditawarkan, yaitu perhatian yang tinggi terhadap kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Hal ini berimplikasi pada penegasan terhadap kepentingan sendiri tetapi secara seimbang sadar akan aspirasi dan kebutuhan orang lain, untuk kemudian memunculkan energi untuk mencari problem solving yang kreatif sebagai jalan keluar.

Menang-Kalah, Kalah-Kalah dan Menang-Menang

1 comment:

Anonymous said...

bos minta daftar pustakanya ya, buat ngerjan skripsi. kirim ke febri.rianfp@yahoo.co.id.

mohon bantuannya