Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

ULAMA, KONFLIK MANAJEMEN, DAN MEDIASI

Achmad Gunaryo*)

Pendahuluan
Di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu selalu dalam bentuk berpasang-pasangan. Ada siang, ada pula malam. Ada besar ada kecil. Ada laki-laki, ada perempuan. Begitu seterusnya. Bahkan setiap kali Allah menyebut kata langit hampir selalu disertai dengan penyebutan tentang pasangannya, yaitu bumi. Pasangan menceminkan adanya perbedaan. Siang mesti berbeda dari malam. Demikian pula antara laki-laki dan perempuan pastilah terdapat sejumlah perbedaan. Masing-masing kategori tersebut memiliki ciri-cirinya sendiri, disamping sejumlah persamaan.

Dalam kehidupan sehari-hari kita tak dapat menolak perbedaan-perbedaan itu. Penyikapan kita tentu saja bukan dengan menolaknya, namun hidup di dalamnya. Manusia tidak memiliki pilihan lain dalam hal ini kecuali menerimanya baik dengan ikhlas atau terpaksa. Tak berlebihan apabila dikatakan bahwa perbedaan adalah sunnatullah. Menolak perbedaan, dengan demikian, suatu ketidakmungkinan. Menolaknya berarti sama dengan menolak sunnatullah.

Senada dengan kejadian-kejadian alami seperti diutarakan di atas, dalam kehidupan sosial juga terdapat kualitas yang dianggap sebagai negasi logis taau pasangan dari suatu istilah. Dalam hal ini kita mengenal istilah baik sebagai negasi dari istilah buruk. Haram sebagai negasi halal. Legal sebagai negasi ilegal. Termasuk ke dalam negasi (atau pasangan), dengan demikian, adalah harmoni (rukun) vis-a-vis konflik. Keberadaannya bagaikan dua sisi pada mata uang yang sama. Kita mengenal harmoni karena ada konflik. Sebaliknya kita mengenal konflik karena ada harmoni. Dimana ada harmoni, maka disitu ada (setidaknya potensi) konflik. Demikianlah, kondisi berpasang-pasangan tidak hanya terdapat dalam kehidupan alam, tetapi juga dalam kehidupan sosial.

Poin yang hendak disampaikan adalah bahwa konflik merupakan bagian dari kehidupan karena harmoni adalah bagian dari kehidupan. Dipandang dari sisi ini maka konflik adalah sunnatullah juga. Tidak ada manusia yang tak pernah terlibat dalam konflik dalam seluruh hidupnya. Mau tidak mau, suka atau tidak, cepat atau lambat, pasti dalam kehidupan ini, suatu saat kita akan bertemu salah satu atau keduanya. Tergantung pada bentuk pertemuannya, yang pasti akan ada satau pasangan lagi yang menyertainya, yakni bahagia atau sedih.

Penghindaran terhadap konflik adalah penghindaran terhadap realitas kehidupan. Dengan kepercayaan bahwa segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah pasti membawa kebaikan, maka kita pun dapat mengatakan bahwa di dalam konflik terdapat sejumlah kebaikan. Dalam banyak literatur sosiologi, misalnya, ditunjukkan bahwa konflik mendorong perubahan dan penciptaan inovasi baru, meski tidak dapat ditafsirkan jika ingin berubah maka perlu diciptakan konflik.

Yang menjadi persoalan dengan konflik adalah jika itu memicu tindakan yang merugikan atau negatif, misalnya perseteruan atau (apalagi) kekerasan (violent conflict). Jadi selain positif, konflik juga memiliki dampak negatif. Karena konflik memiliki potensi demikian (bersifat merusak), maka dalam dunia keilmuan lahir istilah pengelolaan konflik (conflict management). Sesuai topik kita, makalah ini akan menfokuskan diri pada persoalan pengelolaan konflik.

***
Conflict Management atau Pengelolaan Konflik (PK) adalah suatu istilah generik yang digunakan untuk menjelaskan cara-cara menyelesaikan konflik secara umum. Istilah ini memang masih baru dan belum mapan dalam disiplin studi konflik sehingga penggunaannya sering longgar. Misalnya istilah itu sering dipertukarkan dengan istilah-istilah lain seperti pemecahan konflik (conflict resolution), transformamsi konflik (conflict transformation), atau bahkan mediasi konflik (conflict mediation), meskipun isitilah-istilah itu sebenarnya memiliki perbedaan dalam konsekuensi. Namun ada yang berargumentasi bahwa conflict management adalah suatu istilah untuk mewadahi ketiganya; conflict resolution, conflict transformation, dan conflict mediation. Conflict resolution berkaitan dengan tujuan. Conflict transformation lebih berkaitan dengan proses, sedangkan conflict mediation lebih bekaitan dengan cara.

Sesuai dengan kebutuhan kita, saya tidak terlalu risau dengan istilah-istilah itu. Toh pada kenyataannya istilah tersebut sering dipakai sesuai dengan tujuannya. Misalnya ketika pengelolaan konflik bertujuan untuk menyelesaikan (mendamaikan) konflik, maka orang menyebutnya dengan resolusi konflik. Jika tujuannya adalah untuk merubahnya menjadi sesuatu yang produktif, maka orang mengatakan itu transformasi konflik. Dan sebagainya. Bagi saya, manajemen konflik adalah seni mengelola konflik supaya itu tidak bersifat merusak (destructive). Sedangkan perwujudannya bisa berupa negosiasi atau medasi. Untuk kebutuhan kita, saya akan menfokuskan diri pada pembahasan tentang mediasi sebagai bentuk pengelolaan konflik.



***
Mediasi merupakan sarana model baru dalam penyelesaiaan konflik. Kemunculannya di Indonesia baru terjadi setelah rezim Orde Baru runtuh. Kita tahu pasca ambruknya rezim Orde Baru Indonesia ditandai dengan tingginya angka kriminalitas dan keresahan sosial. Orang merasa tidak takut untuk melawan hukum. Perselisihan di dalam masyarakat dengan berbagai sebabnya telah muncul dalam bentuk kekerasan. Ada faktor politik, sosial, ekonomi, dan juga agama yang menjadi pemicunya.

Konflik kekerasan yang terjadi saban hari itu semakin menenggelamkan Indonesia ke dalam kehidupan yang lebih parah dari sekedar krisis moneter. Lebih buruk lagi konflik-konflik itu tak dapat diselesaikan melalui jalur hukum, karena memang tak mampu.

Selain itu, ada persoalan teknis yang menyebabkan masyarakat cenderung memilih mediasi dalam penyelesaian konfliknya. Misalnya masyarakat melihat bahwa berperkara melalui proses-proses formal (lembaga peradilan) sering tidak sebanding antara beaya, waktu, dan tenaga yang dikeluarkan dengan hasil yang dicapai. Karakter putusan pengadilan yang win-loose atau bahkan loose-loose barangkali hanya menambah penderitaan. Dikatakan loose-loose karena berperkara di pengadilan para pihak belum tentu menang, yang pasti menang adalah lawyer atau pengacara. Menang atau kalah, mereka akan mendapatkan haknya yang berupa fee. Dengan demikian, maka sering orang mengatakan bahwa esensi kemenangan di pengadilan bukan substantif tetapi prestise. “Coersive, backward-looking, adversarial, and rights based” itulah yang menjadi ciri khas putusan sengketa secara formal (putusan pengadilan).

Dengan tidak mengesampingkan alasan-alasan yang lain, mediasi, sebaliknya, dipercaya lebih berorientasi pada pemberdayaan. Ke dalam pengertian pemberdayaan adalah termasuk upaya-upaya memaksimalkan keseluruhan potensi (ke)manusia(an) untuk menyelesaikan permasalahannya sendiri dengan mengeksplorasi segala alternatif yang memungkinkan. Penyelesaian konflik dalam mediasi, dengan demikian, tidak terbatas hanya diletakkan pada dua kontinum yang jukstaposisional seperti benar-salah, halal-haram, hitam-putih, dan sebagainya, melainkan bisa di sembarang tempat di antara keduanya. Mediator percaya bahwa di antara benar-salah masih terdapat kualifikasi lain yang bisa jadi bisa diterima semua pihak. Meminjam istilah hukum Islam, di antara halal dan haram masih terdapat sejumlah kualifikasi seperti mubah, mahruh, dan mandub. Jika di dalam sejumlah kualifikasi itu bisa lahir mutual atau kesepakatan yang dapat diterima semua, mengapa tidak. Jadi mediasi tidak sekedar mendamaikan tetapi juga memberdayakan para pihak yang bersengketa.

Dikatakan memberdayakan karena pengenalan terhadap masalah, proses penyelesaian percekcokan, mencari solusi, maupun pelaksanaan kesepakatan ada di tangan para pihak, bukan di tangan mediator. Mediator hanya menfasilitasi dan mengarahkan. Di dalam proses ini maka mediator tidak boleh menggurui dan harus netral (tidak memihak). Dengan bertindak netral, maka mediator menfasilitasi para pihak untuk berembug dan mencapai kesepakatan di antara mereka sendiri. Dalam kontek inilah maka Zatzel dan Wixted (1984: 7-8) mengatakan bahwa:
“Mediation … can be defined as the process by which the participants, together with the assistance of a neutral person or persons systimatically isolate disputed issues in order to develop options, consider alternatives, and reach a consensual agreement that will meet their needs. Mediation is a process that emphasizes the participant’s own self-responsibility of making decisions that affect their lives. It is therefore a sefl empowering process.”

Dari pendapat Zatzel dan Wixted di atas bisa ditambahkan bahwa dalam mediasi, mediator juga membantu menemukan pilihan-pilihan dan alternatif. Jadi tanggungjawab membuat keputusan diletakkan pada para pihak. Oleh karena itulah maka mediasi sering disebut sebagai self empowering process karena pada dasarnya para memberdayakan diri sendiri yang sulit tercapai jika itu dilaksanakan senara sendirian. Karena itu pula penyelesiaan perseteruan ala mediasi ini dianggap sebagai penyelesaian sengketa yang manusiawi.

Lagi-lagi dalam hal ini biasanya orang lalu membandingkan dengan penyelesaian ala litigasi. Orang bilang penyelesaian konflik melalui hukum hanya menempatkan manusia sebagai kasus. Dalam hal ini potensi kemanusiaan para piha tidak tereksplorasi. Bagaikan barang mati mereka hanya menerima apa yang dikatakan oleh hakim atau arbiter.

Memang pendapat di atas bernada apologia. Terlepas dari apologia atau tidak, cara penyelesaian ini, nyatanya, semakin populer. Kekerasan dalam rumah tangga, pencemaran lingkungan, sengketa industrial, sekarang banyak beralih ke mediasi. Bahkan di negara-negara maju konflik-konflik ketetanggaan, pembagian atau perwalian anak pasca perceraian, konflik sosial keagamaan juga banyak diselesaikan melalui jalur mediasi. Kepopuleran itu tidak akan tercapai jika mediasi tidak menunjukkan kelebihannya.

Di Indonesia mediasi bahkan sudah memasuki ruang sidang pengadilan. Artinya penyelesaian konflik model mediasi itu sudah dianggap sebagai bagian penyelesaian hukum. Pada 11 September 2003 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Nomor 2/ 2003 tentang mediasi. Di situ disebutkan dalam persoalan perdata, sebelum materi perkara disidangkan, pengadilan wajib menyarankan agar diselesaikan melalui mediasi. Dengan demikian, mediasi dianggap sebagai pelaksanaan Pasal 130 HIR dan 154 Rbg. Pasal ini memang tentang upaya perdamaian. Namun karena model perdamaian yang dilakukan oleh hakim selama ini tidak begitu efektif, maka mediasi dianggap dapat menggantikan “perintah” perdamaian. Jika dalam sidang pertama tidak ada upaya perdamaian, maka hasil apapun yang dicapai dalam persidangan tersebut dianggap tidak sah, dan batal demi hukum.

Sebenarnya kita telah banyak melakukan mediasi di masyarakat atau di dalam keluarga sendiri. Karena itu maka mediasi sering dianggap mudah melakukannya. Ini adalah kesan yang keliru. Persoalannya adalah bagaimana mediasi itu dilakukan. Ada beberapa perbedaan antara mediasi yang didasarkan pada anggapan poluler dan mediasi modern. Perbedaan itu adalah sebagai berikut.



Saya rasa tabel di atas cukup menjelaskan perbedaan antara keduanya. Tabel di atas menunjukkan beberapa perbedaan mendasar. Melihat praktek selama ini, maka mediasi yang berlangsung di Indonesia dapat dikategorikan sebagai mediasi tradisional. Dalam mediasi semacam ini, mediator tidak pernah mendapat pelatihan dalam bidang mediasi. Baginya, mediasi seperti bentuk-bentuk musyawarah lainnya. Posisi mediator sangat dominan. Dominasi ini dalam menentukan arah mediasi dan menentukan outcome. Sampai tataran tertentu hubungan mediator-para pihak bagaikan hubungan patron-client relationship. Tujuan satu-satunya mediasi ini adalah mencapai penyelesaian akhir. Wajar apabila dalam mediasi seperti ini potensi bias dari mediator sangat tinggi. Tidak ada aturan dalam mediasi ini. Keberhasilan ditentukan oleh posisi sosial mediator. Semakin tinggi posisi sosial mediator, semakin tinggi probabilitas keberhasilannya. Mediator dianggap dan diperlakukan sebagai orang yang paling tahu, dan karena itu perlu diturut.

Yang dimaksud forward looking di atas adalah bahwa mediasi dalam menyelesaikan pertikaian lebih melihat kepentingan ke depan katimbang ke belakang. Jadi ia berangkat dari konflik yang ada. Ia juga tidak akan menentukan benar dan/atau salah. Atas dasar inilah maka mediasi sangat ampuh untuk menyelesaikan konflik yang muncul akibat kesalahpahaman, su’uzan (buruk sangka), konflik yang belum jelas duduk perkaranya, konflik kepentingan, perbedaan pemahaman, dan sebagainya.

***
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa ulama? Sebelum menjawab ini perlu disampaikan bahwa masyarakat Indonesia masih hidup dalam alam feodalisme. Beberapa ciri masyarakat ini adalah adanya penilaian yang tinggi terhadpa pemimpin mereka. Selain itu mereka juga menaruh harapan yang tinggi terhadap pemimpin untuk bisa menyelesaikan persoalan-persoalan mereka. Mereka sendiri sering menganggap pemimpin sebagai simbol (kolektivitas) masyarakat secara keseluruhan. Karena itu mereka selalu berharap agar pemimpin sebagai uswah hasanah yang perlu diteladani.

Selain pewaris nabi (waratsatul anbiya), ulama adalah juga pemimpin. Dalam situasi dan posisi seperti inilah maka ulama memiliki peran yang amat penting dalam memberikan rasa aman bagi seluruh elemen dan individu dalam masyarakat. Peran tersebut tidak hanya terbatas pada pengikutnya saja, tetapi seluruh lapisan masyarakat. Salah satu peran itu adalah sebagai mediator atas konflik-konflik yang muncul, baik itu kerumahtanggaan, ketetanggaan, maupun yang lainnya.

Dalam isu-isu keagamaan ulama sebagai mediator justru amat penting. Di dunia ini kita sudah banyak menyaksikan penderitaan dahsyat yang dialami oleh ummat manusia akibat perbedaan penafsiran dalam masalah agama. Di Irak kelompok menghancurkan masjid-masjid kepunyaan orang-orang Syi’ah. Celakanya penghancuran dilakukan pada saat orang-orang Syi’ah sedang khusyu’ beribadah di dalamnya, sehingga kehancuran bangunan masjid disertai dengan membajirnya darah orang-orang yang tak berdosa. Tidak hanya itu, Syi’ah juga melakukan hal yang sama terhadap Sunni.

Pemandangan serupa juga terjadi di Pakistan. Sunni dan Syi’ah saling menghancurkan. Masjid yang konon disebut baitullah diperlakukan bagaikan baitussyayatiin. Padahal masjid adalah benda mati yang tak tahu apa-apa. Sudah tak terbilang nyawa yang meregang akibat konflik pemahaman.

Di Indonesia, pengalaman serupa terjadi. Ahmadiyah dan pengikutnya diusir dari rumahnya sendiri. Hartanya dijarah. Mereka tidak mendapat perlindungan dari negara. Sampai hari ini di Nusa Tenggara Barat mereka masih tinggal di kamp-kamp penampungan. Mereka tak diperbolehkan kembali ke kampung halamannya. Anehnya ketika mereka ingin meninggalkan negeri ini dengan meminta suaka politik di negara lain, tak diperbolehkan.

Kinilah saatnya, ulama mempelopori proses-proses rekonsiliatif yang bisa mengayomi semuanya. Mediasi tanpaknya merupakan bentuk rekonsiliasi yang elegan.



**) Paper Pernah Disampaikan dalam Acara Orientasi Kader Ulama Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa Tengah di Semarang, 26 Juli 2007

selengkapnya..