Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

MEDIASI ALTERNATIF PENYELESAIAN KONFLIK

Oleh: Djamaluddin Darwis.

Setiap hari dapat kita baca di setiap media masa adanya pemberitaan tentang konflik. Ada konflik yang bersifat individual ada pula yang melibatkan kelompok sosial, dalam skala keluarga, lokal, nasional bahkan internasional dengan kompleksitas konflik yang beragam, dari yang sederhana sampai yang rumit, bertahun-tahun tidak dapat diselesaikan. Tidak jarang konflik yang tidak dimenej untuk mencari solusi yang saling menguntungkan dapat bereskalasi pada tindak kekerasan. Kedua belah pihak kehabisan energi untuk bertikai, yang didapat hanya penderitaan dan kerugian.


KERAGAMAN KONFLIK
Bentuk tindak kekerasan (violence) sebagai akibat konflik ini sangat beragam. Sebagai contoh konflik yang bersifat individual, dengan mudah dapat dijumpai berita tentang seorang anak membunuh orang tuanya sendiri, menantu menghajar sang mertua, seorang murid memukul gurunya, bahkan seorang anggota aparat menembak mati atasannya. Belum lagi yang berskala lebih besar, yang melibatkan banyak orang, seperti sering terjadinya tawuran antar kelompok pelajar, serbuan warga desa ke desa lain, belum lagi perang antar suporter olah raga, maupun perkelahian masal akibat senggolan ketika berjoget ria nonton pergelaran musik. Konflik dapat muncul dalam skala yang lebih luas dan dalam permasalahan yang lebih kompleks walaupun belum tentu berakibat pada kekerasan, seperti kasus yang menyangkut sengketa perburuhan terkait dengan tuntutan kelayakan upah kerja di beberapa pabrik, demikian pula konflik yang menyangkut tanah seperti dalam kasus Lumpur panas di Sidoarjo. Memang dalam kaitannya dengan sengketa tanah tindak kekerasan itu sangat mungkin terjadi, karena merupakan bagian dari hajat hidup seperti yang terjadi di Pasuruan. Demikian pula kasus konflik yang bersinggungan dengan sara seperti konflik antar etnis dan paham agama juga sangat mudah menimbulkan tindak kekerasan seperti yang pernah terjadi di Pontianak, Poso dan Ambon. Belum lagi yang berskala internasional seperti yang terjadi di Timur Tengah, di Irak dan Palestina yang tak kunjung selesai.
Tampaknya permasalahan konflik ini tidak akan pernah selesai, setidak-tidaknya dalam pengertian satu konflik selesai akan muncul konflik yang lain, atau malah satu konflik belum selesai sudah muncul konflik yang lain. Bahkan yang lebih menyedihkan satu konflik belum selesai malah proses penyelesaiannya melahirkan berbagai konflik baru. Memang tidak semua konflik dapat diselesaikan melalui mediasi, karena masih ada cara lain, seperti jalur hukum dan jalur arbitrase. Namun jika semua jalur lunak ini tidak dapat dimanfaatkan, tidak mustahil jalur kekerasan yang akan terjadi dengan menggunakan kekuatan otot, perkelahian, kroyokan bahkan peperangan.
Dalam perspektif sejarah, konflik ini telah terjadi sejak awal kehidupan manusia itu sendiri. Dalam keyakinan agama samawi, kakek dan nenek moyang umat manusia -Adam dan Hawa- pernah konflik dengan Iblis yang mengganggu membujuk keduanya untuk makan buah kuldi. Generasi ke dua Kabil dan Habil -anak Adam dan Hawa- keduanya terlibat konflik karena ada kecemburuan dalam berkorban, sehingga menimbulkan tindak kekerasan, Kabil membunuh Habil. Itulah darah manusia pertama yang membasahi tanah karena adanya konflik yang tidak diselesaikan dengan damai.
Kemerdekaan tanah air kitapun juga tidak lepas dari adanya konflik. Tiga ratus lima puluh tahun dijajah pemerintah Kolonial Belanda ditambah dengan tiga tahun di bawah pendudukan tentara Jepang merupakan konflik yang sangat panjang dan melelahkan, menguras harta dan jiwa, yang berakhir dengan perjuangan kemerdekaan. Bahkan untuk mempertahankan kemerdekaan serta untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI juga penuh dengan konflik yang tidak mudah diselesaikan.
Dengan demikian, dengan melihat pada sejarah kemanusiaan, sejarah nasional dan melihat pada konteks kekinian, tampaknya konflik ini selalu muncul silih berganti dan tidak akan berhenti. Mengapa? Karena faktor yang melatarbelakangi serta pemicunya memang sangat beragam: ekonomi, politik, sosial, etnisitas bahkan pemahaman agama yang sempit. Di samping itu faktor personal juga sangat beragam, sikap hidup, emosi dan temperamen individual serta latar belakang kehidupan keluarga dan pendidikan.
Sebagaimana diberitakan di SM, 19 April 2007 rombongan dosen IAIN Walisongo Semarang, yang tergabung dalam IAIN Walisongo Mediation Centre (IWMC), penulis merupakan salah satu anggotanya, mendapatkan kesempatan mengikuti training Conflict Mediation di Wageningen University di Belanda. Pelatihan ini dalam rangka meningkatan peran dan fungsi IAIN Walisongo sebagai lembaga pendidikan tinggi keagamaaan, khususnya dalam pengabdian kepada masyarakat. IAIN Walisongo sejak awal tahun 2006 telah merintis berdirinya Mediation Centre yang rencana kegiatannya mencakup mendesain kurikulum mediasi, menyiapkan modul, memberikan pelatihan, diskusi, workshop, penelitian, menyediakan perpustakaan mediasi, kerjasama luar negeri, membina associate centre dan pelayanan pada masyarakat.

PERAN MEDIASI
Dalam memerankan sebagai mediator dalam menangani suatu konflik ada beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi dan tahap yang dilalui yang sifatnya relatif, karena konflik sebagai realitas sosial sangat tergantung pada konteksnya, latar belakang dan faktor-faktor lain yang saling berkaitan. Syarat yang diperlukan antara lain adanya trust, yang makna kharfiahnya kepercayaan atau amanah. Trust ini harus dipenuhi oleh masing-masing disputant (orang yang bersengketa) mereka harus dapat memegang amanah, dapat dipercaya dan saling mempercayai. Demikian pula harus ada kepercayaan terhadap mediator, bahwa mediator akan bersifat netral tidak memihak, dan pihak mediator juga harus dapat memegang amanahnya. Kepercayaan ini juga berkaitan dengan adanya keyakinan bahwa mediasi ini dapat dipercaya sebagi cara yang terbaik, tidak ragu dalam mencari penyelesaian yang saling menguntungkan, win-win solution.
Selain itu jika ada hal-hal yang sifatnya pribadi dan perlu dijaga kerahasiaannya, juga harus dapat dipercaya untuk tidak membuka ke publik. Dengan kepercayaan seperti itu, pihak disputant memberikan mandat kepada mediator untuk dapat membantu dalam menyelesaikan masalah. Dengan mendapatkan kepercayaan ini, mediator berperan sebagai fasilitator untuk mempertemukan kedua belah pihak yang bersengketa dan sekaligus mengkoordinasikan semua kegiatan yang diperlukan dalam mencari jalan penyelesaian.. Mediator harus sepenuh hati dan hanya berorientasi untuk pengabdian dengan berusaha semaksimal mungkin mencari alternatif solusi yang menguntungkan kedua belah pihak. Untuk itu mediator harus seorang yang profesional, yaitu selain bersikap amanah dan netral, juga harus mempunyai kreativitas, bersikap fleksibel tidak kaku, tidak bersikap black and white, dan mempunyai ketrampilan yang handal dalam komuniasi sosial.
Syarat yang lain yang perlu diperhatikan adalah adanya sikap keterbukaan kedua belah pihak, termasuk keterbukaan kepada mediator. Artinya pihak disputant harus bersedia mengungkapkan semua keterangan yang diperlukan kepada mediator tanpa harus ada yang disembunyikan atau ditutup-tutupi agar dapat memperoleh solusi yang diharapkan. Di samping itu penyelesaian konflik melalui mediasi juga harus disikapi dengan rasa suka rela, artinya atas dasar kemauan sendiri tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.
Sekalipun sudah ada mediator yang membantu untuk menyelesaikan masalah, pihak yang bersengketa harus tetap berusaha mencari alternatif penyelesaian yang menguntungkan, karena peran mediator hanya bersifat membantu berlangsungnya negosiasi. Dengan demikian keputusan dan penyelesaian terakhir tetap berada di tangan kedua belah pihak yang bertikai, keduanya mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan bersama.
Pihak mediator harus memposisikan sebagai pihak ketiga, artinya harus menjaga jarak yang sama terhadap ke dua pihak yang bersengketa, dan harus tidak ada kepentingan lain kecuali kepentingan untuk menyelesaikan masalah. Harapannya hanya tercapainya solusi yang disepakati kedua belah pihak dengan sukarela. Mediator dan pihak-pihak yang bersengketa harus lebih banyak melihat ke depan untuk kebaikan bersama, dan tidak terlalu banyak mengungkit masa lalu, mencari kambing hitam dan saling menyalahkan. Hal ini penting karena prinsip mediasi berbeda dengan prinsip cara penyelesaian yang lain, yaitu ada kalah menang, ada yang disalahkan, dalam hal ini yang diharapkan adalah saling mengalah untuk menang bersama, artinya mencari jalan yang saling menguntungkan, sekalipun belum tentu penyelesaian itu sangat ideal, tetapi setidak-tidaknya itulah penyelesaian terbaik yang maksimal.

TAHAP PENYELESAIAN
Suatu konflik dapat dipicu karena adanya keyakinan akan hak atau kebenaran yang oleh pihak yang berselisih sepertinya tidak dapat ditawar lagi. Kalau pihak yang bersengketa sudah mempertahankan position, maka jalan menuju penyelesaian melalui mediasi menjadi lebih tertutup. Untuk itu mediator harus berusaha membantu pihak yang bertikai untuk menggeser positionnya untuk mencari berbagai alternatif yang memungkinkan adanya negosiasi yang saling menguntungkan. Alternatif dalam proses mediasi dapat disebut sebagai interest, yaitu kepentingan yang merupakan substansi dari position. Menggeser position ke interest ini sangat diperlukan dalam penyelesaian suatu konflik, karena position itu sesuatu yang sudah tidak dapat berubah, final, harga mati, istilah lain “pokoke.” Kalau sudah”pokoke”, mau apa lagi, ini artinya sudah menutup jalan penyelesaian melalui mediasi, mungkin lebih sesuai penyelesaiannya melalui jalur hukum ke pengadilan yang kemungkinannya dapat berupa kalah menang. Mencari interest dibalik position sama halnya dengan memahami substansi dibalik permasalahan yang disengketakan.
Sebagai ilustrasi dalam sengketa tanah sebagi kebutuhan tempat tinggal oleh sekelompok masyarakat, karena terdesak oleh himpitan ekonomi yang serba sulit. Ada sebidang tanah yang dibiarkan oleh pemiliknya, mungkin pemiliknya bertempat tinggal di kota lain yang jauh, tidak pernah merawat, memagari atau memberi tanda bahwa tanah itu miliknya. Tanah itu ditumbuhi tanaman liar, dan bertahun-tahun dalam keadaan demikian. Kemudian ada orang yang berjualan nasi bungkus atau gorengan dengan gerobak keliling kampung yang sering berhenti di situ. Lama-lama dia sering mangkal di situ, bahkan sejak pagi gerobak itu tidak berkeliling kampung lagi karena di situ dagangannya laris manis. Akhirnya gerobak tidak dibawa pulang, digembok rodanya dan ditinggal di situ. Selanjutnya karena rodanya sudah tua tidak kuat menahan beban, roda itu diganti dengan kaki tanpa roda. Tahun berganti tahun banyak penjual lain datang dan ternyata laris. Yang tadinya sebuah gerobak, menjadi meja panjang dengan beberapa tempat duduk, bahkan setelah banyak pedagang berjualan di situ mereka sepakat mendirikan kios bersama, yang semula dari kayu dalam perjalanan waktu menjadi bangunan permanen, bahkan tinggal di situ karena rumah kontrakannya telah habis dan tidak diperpanjang lagi, karena memilih tinggal di kios yang sudah berobah menjadi rumah tinggal.
Sekian tahun kemudian ahli waris pemilik tanah datang mencari tanah orang tuanya dengan membawa serifikat tanah resmi. Pemilik tanah tidak mudah untuk langsung meminta kembali tanah milik orang tuanya dari para pedagang yang sudah bertahun-tahun menempati tempat itu, karena di situlah mereka bertempat tinggal dan di situ pula rejekinya. Mereka sudah tidak mempunyai rumah dan pekerjaan lain selain rumah/kios yang mereka tempati itu. Mereka tidak akan mudah melepaskan tanah dan bangunan yang dengan susah payah mereka bangun dari nol.
Jika kedua belah pihak pada position masing-masing, pemilik menuntut pengosongan tanah segera, dan pedagang dalam position nya tidak mau meninggalkan tanah karena kehidupannya di situ, maka tidak akan ada jalan penyelesaian. Untuk itu position ini harus digeser ke persamaan interest, substansinya adalah pemilik tidak merasa kehilangan tanah sepenuhnya dan pedagang tidak kehilangan tempat tinggalnya. Substansinya adalah tanah itu ada harganya dan tempat tinggal tidak harus di tanah yang diduduki. Dengan tanpa menyalahkan masing-masing pihak, tetapi menyadari akan kekurangan masing-masing, penyelesaian yang tidak begitu merugikan dan saling menguntungkan akan lebih terbuka, antara lain pedagang diberi kesempatan untuk membeli, atau pedagang diberikan tali asih untuk pindah, atau dicarikan tanah pengganti dan sebagainya. Kalau mencari kesalahan, keduanya sama-sama mempunyai kesalahan, tentunya dengan tingkat kesalahan yang berbeda.
Contoh di atas sekedar ilustrasi keadaan yang melatarbelakangi adanya konflik, sebagai refleksi untuk mencari jalan penyelesaian, ibarat seorang dokter yang akan mengobati pasien perlu mendiagnose pasiennya, mengetahui penyebab penyakitnya, gejalanya dan baru memberikan terapi. Selain konflik masalah tanah yang lebih dipicu oleh faktor ekonomi, konflik ini juga dapat dipicu oleh berbagai faktor yang lain, seperti masalah politik, budaya, identitas, etnisitas bahkan oleh paham keagamaan..
Dalam salah satu kegiatan selama mengikuti pelatihan di Wageningen, penulis juga mengikuti field study trip ke kota Gouda, sebuah kota yang menghubungkan Amsterdam dan Rotterdam melalui jalur timur, kota yang sangat plural khususnya dengan banyaknya komunitas muslim dengan latar belakang etnis Maroko yang sudah puluhan tahun hidup menyatu dengan masyarakat Belanda setempat. Sekalipun mempunyai latar belakang etnis dan agama yang berbeda, masyarakat muslim tidak hidup secara ekslusif tetapi berbaur dengan segala kegiatan kemasyarakat setempat. Demikian pula masyarakat setempat dapat bersikap terbuka, mau menerima masyarakat pendatang, anak-anak mereka bermain bersama, hidup rukun. Mereka saling mempercayai dan saling membantu bahkan mereka memiliki agenda pertemuan bersama secara berkala dengan berbagai kegiatan kemasyarakatan. Mereka mempunyai balai pertemuan bersama yang mereka namakan Allaun untuk kegiatan bersama, mengadakan pertemuan maupun kegiataan kesenian dan berbagai kegiatan lainnya. Penulis penasaraan tentang makna Allaun, ternyata kata itu berasal dari bahasa Arab, launun jamaknya allaun, yang artinya warna-warni, makna ini mencerminkan adanya perbedaan, maksudnya mereka menerima adanya perbedaan sebagai bentuk keragamaan dalam kehidupan. Mereka menerima keragamaan sebagai realitas, dengan demikian mereka dapat saling memahami perbedaan yang ada, dapat menjaga diri dan tidak saling memaksakan kehendak. Penulis mengamati keberhasilan hidup bersama dalam geografis yang sama sekalipun adanya perbedaan yang tajam baik etnisitas maupun keyakinan agama, karena adanya pemahaman terhadap realitas yang ada dan sikap hidup yang tidak eksklusif terpisah dari masyarakat yang ada. Lebih dari itu menjaga kepercayaan serta tidak saling mencurigai juga merupakan dasar utama dalam membina kerukunan hidup bersama. Dengan demikian, masalahnya bukan upaya menyelesaikan konflik, tetapi upaya untuk mencegah konflik yang mungkin sekali dapat terjadi. Tidak dapat dibayangkan, jika konflik etnis dan latar belakang agama sampai terjadi, apalagi jika konflik ini bereskalasi sampai terjadi kekerasan (violence), masalahnya akan menjadi sangat rumit dan sulit diselesaikan. Energi dan waktu akan habis terbuang, masalahnya belum tentu selesai.
Kita sebagai bangsa yang terbuka, di samping adanya kesatuan tanah air, bangsa dan bahasa, tetapi kita juga kaya dengan perbedaan dalam segala bentuknya, yang jika tidak dipahami secara jernih dan disikapi secara dewasa, tidak mustahil perbedaan itu akan memicu konflik yang sulit diatasi. Sangat bijak para pendiri negara ini mendasarkan filosofi kenegaraannya dengan Bhineka Tunggal Ika, walaupun berbeda tetapi tetap satu. Perbedaan merupakan keragaman, perbedaan bukan merupakan pemicu konflik, tetapi justru sebagai jembatan untuk saling memberi manfaat. Kata Mark Twain: konflik sebenarnya hanya masalah perasaan, jika tidak menganggapnya sebagai konflik maka konflik itu tidak akan ada.”

Semarang, 16 Agustus 2007/


* Dr. Djamaluddin Darwis, MA.
Anggota IAIN Walisongo Mediation Centre (IWMC)

selengkapnya..