Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

MEDIASI DALAM PERATURAN-PERUNDANGAN DI INDONESIA

Akhmad Arif Junaidi


Mediasi, yang didefinisikan oleh Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 02 Tahun 2003 sebagai penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator , merupakan salah satu instrument efektif penyelesaian sengketa non-litigasi yang memiliki banyak keuntungan. Keuntungan menggunakan jalur mediasi antara lain adalah bahwa sengketa dapat diselesaikan dengan prinsip win-win solution, waktu yang digunakan tidak berkepanjangan, biaya lebih ringan, tetap terpeliharanya hubungan antara dua orang yang bersengketa dan terhindarkannya persoalan mereka dari publikasi yang berlebihan. Pengakuan akan keuntungan menggunakan jalur mediasi sebagai penyelesaian sengketa non-litigasi ini dapat dilihat dalam konsideran diterbitkannya Perma No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

Mediasi tidak hanya bermanfaat bagi para pihak yang bersengketa, melainkan juga memberikan beberapa manfaat bagi dunia peradilan. Pertama, mediasi mengurangi kemungkinan menumpuknya jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan. Banyaknya penyelesaian perkara melalui mediasi, dengan sendirinya, akan megurangi penumpukan perkara di pengadilan. Kedua, sedikitnya jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan akan memudahkan pengawasan apabila terjadi kelambatan atau kesengajaan untuk melambatkan pemeriksaan suatu perkara untuk suatu tujuan tertentu yang tidak terpuji. Ketiga, sedikitnya jumlah perkara yang diajukan ke pengadilan tersebut juga akan membuat pemeriksaan perkara di pengadilan berjalan cepat.
Meski banyak memiliki kelebihan dan keuntungan, mediasi sebagai alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidaklah diatur secara memadai dalam peraturan-perundangan। Dalam UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, mediasi tidak dijelaskan secara berimbang dan proporsional. Dalam Undang-undang ini, lembaga arbitrase diatur dan dijelaskan secara detail dalam 80 (delapan puluh) pasal, sedangkan alternative penyelesaian sengketa, termasuk mediasi di antaranya, hanya disebut dalam dua pasal saja, yaitu pasal 1, butir (10) dan pasal 6 yang terdiri dari 9 ayat. Selebihnya hanya diatur secara garis besar dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Tulisan ini akan mengupas beberapa hal penting mengenai mediasi yang “sempat” diatur oleh peraturan-perundangan yang ada, yaitu prinsip mediasi, criteria mediator, prosedur mediasi dan beberapa catatan penulis mengenai regulasi mediasi di Indonesia.

B. Prinsip Mediasi
Peraturan-perundangan yang ada tidak secara detail menjelaskan prinsip-prinsip dasar dilaksanakannya mediasi. Peraturan-perundangan tersebut hanya menjelaskan beberapa prinsip mediasi. Pertama, kerahasiaan (confidentiality), yang berarti bahwa proses pelaksanaan mediasi berlangsung secara rahasia. Prinsip kerahasiaan proses mediasi dapat dilihat dalam pasal 6 ayat (6) UU No. 30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa dengan melalui jalur mediasi memegang teguh kerahasiaan. Di samping itu, prinsip kerahasiaan ini juga dapat dilihat dalam Perma No. 02/2003 Pasal 14 ayat (1) yang secara tegas menyatakan bahwa proses mediasi pada dasarnya tidak bersifat terbuka untuk umum, kecuali para pihak yang bersengketa menghendaki lain. Namun, prinsip kerahasiaan proses mediasi tersebut juga memiliki pengecualian. Pengecualian tersebut dapat dilihat dalam pasal 1 butir 9 juncto pasal 14 ayat (2) yang menyatakan bahwa proses mediasi untuk sengketa public, yaitu sengketa-sengketa lingkungan hidup, hak asasi manusia, perlindungan konsumen, pertanahan dan perburuhan bersifat terbuka untuk umum. Kedua, pemberdayaan para pihak (individual empowerment), yang berarti bahwa dalam proses mediasi para pihak yang bersengketa didorong untuk sedapat mungkin menemukan sendiri solusi terbaik permasalahan mereka. Pasal 9 ayat (4) Perma No. 02 Tahun 2003—yang menjelaskan bahwa mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak—secara tidak langsung menjelaskan adanya prinsip pemberdayaan ini.

Ketiga, netralitas atau ketidakberpihakan (impartiality) sebagai salah satu prinsip terpenting dalam mediasi. Prinsip netralitas dan ketidakberpihakan dalam mediasi ini hanya dijelaskan secara tidak langsung dalam pasal 1 butir (5) yang menjelaskan bahwa mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian perkara. Artinya, seorang mediator sebagai pihak ketiga yang merancang dan memimpin jalannya proses mediasi harus bersikap netral dan tidak memihak. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang mediator tidak diperkenankan untuk berpihak--atau mengemukakan pertanyaan, berpendapat atau berperilaku yang bisa ditafsirkan sebagai pemihakan—kepada salah satu dari pihak yang bersengketa.

Namun, peraturan-perundangan yang ada tidak secara jelas menjelaskan prinsip kesukarelaan (voluntary), yang berarti bahwa para pihak datang ke dalam proses mediasi dengan sukarela. Pasal 2 Perma No. 02 Tahun 2003-- yang menjelaskan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib untuk lebih dahulu diselesaikan melalui perdamaian dengan bantuan mediator—sama sekali tidak mencerminkan adanya prinsip kesukarelaan ini.

Peraturan perundangan yang ada juga tidak secara gamblang menjelaskan prinsip lain yang membedakan antara mediasi dengan penyelesaian sengketa di pengadilan. Peraturan-perundangan tersebut tidak menjelaskan tentang, misalnya, prinsip mediasi yang dalam proses pelaksanaannya tidak mengedepankan pembuktian materiil karena memang tidak untuk memenangkan salah satu pihak dan mengalahkan pihak lainnya. Tidak dijelaskannya secara detail prinsip-prinsip mediasi ini tentu menjadi catatan penting bagi peraturan-perundangan yang ada.


C. Kriteria Mediator

Baik UU No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa maupun Peraturan Mahkamah Agung RI No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan sama sekali tidak menyebutkan criteria yang harus dipenuhi untuk menjadi mediator. Meski untuk garapan mediasi yang sangat spesifik, yakni mediasi untuk penyelesaian sengketa lingkungan hidup, kriteria mediator bisa dilihat dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2000. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa untuk menjadi mediator lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan maka seseorang harus memenuhi beberapa persyaratan pokok. Pertama, dia harus cakap melakukan tindakan hokum. Kedua, berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun. Ketiga, memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif bidang lingkungan hidup paling sedikit 5 (lima) tahun. Keempat, tidak ada keberatan dari masyarakat (setelah diumumkan dalam jangka waktu satu bulan). Kelima, memiliki keterampilan untuk melakukan perundingan atau penengahan. Keenam, dengan merujuk pada Perma No. 02 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 11, memiliki sertifikat mediator, yaitu dokumen yang menyatakan bahwa dia telah mengikuti pelatihan atau pendidikan mediasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang telah diakreditasi oleh Mahkamah Agung.

Di samping itu, seorang calon mediator juga harus memenuhi persyaratan tambahan, yaitu disetujui oleh para pihak yang bersengketa, tidak memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat kedua dengan salah satu pihak yang bersengketa, tidak mempunyai hubungan kerja dengan salah satu pihak yang bersengketa, tidak mempunyai kepentingan financial atau kepentingan lain terhadap kesepakatan para pihak yang bersengketa dan tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupun hasilnya.

Meski hanya secara spesifik mengatur kriteria mediator untuk sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan, kriteria mediator yang dikemukakan oleh PP No. 54 Tahun 2000 tersebut nampaknya sebagian dapat menjadi acuan bagi pengaturan kriteria mediator dalam sengketa non lingkungan hidup, sementara sebagian yang lain layak untuk dikritisi. Di antara yang layak untuk dikritisi adalah persyaratan pokok bahwa seorang mediator harus memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif bidang spesifik yang disengketakan paling sedikit 5 (lima) tahun. Penentuan criteria tersebut tentu terlalu berlebihan karena peran mediator bukanlah untuk mencari solusi atas persoalan yang disengketakan, melainkan untuk memberdayakan pihak-pihak yang bersengketa guna mencari solusi atas persoalan mereka sendiri. Solusi tentu bukanlah berasal dari mediator, melainkan dari para pihak yang bersengketa itu sendiri. Karenanya, seorang mediator tidak harus mengetahui, apalagi menguasai, secara detail bidang persoalan yang disengketakan.

Persyaratan pokok lainnya yang layak untuk dikritisi adalah penentuan umur minimal 30 (tigapuluh) tahun. Pertanyaan yang seringkali dimunculkan adalah mengapa seorang mediator minimal harus 30 (tiga puluh) tahun? Mengapa, misalnya, bukan 25 (dua puluh lima) atau 20 (dua puluh) tahun? Maksud penentuan umur minimal tersebut tentu tidak lain adalah bagaimana menampilkan seorang mediator yang memiliki kematangan intelektual (intellectual maturity), kedewaan berpikir dan keluasan wawasan. Kalau demikian halnya, masih perlukah penentuan batas minimal seorang mediator?


D. Prosedur Mediasi

Meski lebih fleksibel ketimbang penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi, mediasi juga memiliki prosedur-prosedur baku. Prosedur mediasi, sebagaimana dinyatakan oleh Perma No. 02 Tahun 2003 pasal 1 (item 8), adalah tahapan proses pelaksanaan mediasi sebagaimana diatur dalam Perma tersebut. Prosedur mediasi tersebut, sebagaimana disebutkan dalam pasal 7 Perma yang sama, harus diikuti oleh mediator dan para pihak yang bersengketa.
Perma No. 02 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan membagi prosedur mediasi menjadi dua tahap, yaitu tahap pramediasi dan tahapan mediasi.


Tahap Pramediasi

Pasal 3 Perma No. 02 Tahun 2003 menyatakan bahwa pada hari sidang pertama di pengadilan yang dihadiri oleh kedua belah pihak yang berperkara, hakim mewajibkan kedua belah pihak tersebut untuk terlebih dahulu menempuh jalur mediasi dengan menunda proses persidangan. Dalam hal ini hakim wajib memberikan penjelasan kepada dua pihak tersebut mengenai prosedur mediasi

Selanjutnya pasal 4 Perma yang sama menyatakan bahwa paling lama satu hari kerja setelah siding pertama, para pihak yang bersengketa wajib berunding guna memilih mediator dari daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan atau mediator di luar daftar pengadilan. Bila dalam waktu satu hari tersebut kedua belah pihak belum dapat bersepakat tentang penggunaan mediator di dalam atau luar pengadilan, mereka wajib memilih mediator dari daftar mediator yang disediakan oleh pengadilan tingkat pertama. Bila dalam waktu satu hari kerja kedua belah pihak belum dapat memilih mediator dari daftar yang disediakan oleh pengadilan, ketua majlis berwenang untuk menunjuk seorang mediator dari daftar mediator dengan penetapan. Dalam hal ini, hakim yang memeriksa suatu perkara —baik sebagai ketua ataupun anggota majlis—dilarang untuk bertindak sebagai mediator bagi pelaksanaan mediasi perkara tersebut.

Selanjutnya dalam pasal 5 Perma yang sama mengatur bahwa proses mediasi yang menggunakan mediator di luar daftar mediator yang dimiliki oleh pengadilan berlangsung selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari kerja. Setelah jangka waktu tersebut, para pihak yang bersengketa wajib menghadap kembali pada hakim pada sidang yang ditentukan. Dalam hal pelaksanaan mediasi mereka mencapai kesepakatan, mereka dapat meminta penetapan dengan suatu akta perdamaian. Bila kesepakatan tersebut tidak dimintakan penetapannya dalamsebuah akta perdamaian maka pihak penggugat wajib menyatakan pencabutan gugatannya.


Tahap Mediasi

Pada tahap mediasi, pasal 8 Perma tersebut menjelaskan bahwa dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja setelah pemilihan atau penunjukan mediator, para pihak wajib menyerahkan fotocopy dokumen yang memuat duduk perkara, fotocopy surat-surat yang diperlukan dan hal-hal lain yang terkait dengan sengketa kepada mediator.
Pasal 9 menyatakan bahwa mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian proses mediasi. Dalam proses mediasi termasuk para pihak dapat didampingi oleh kuasa hukumnya. Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus. Yang dimaksud dengan kaukus, sebagaimana dijelaskan oleh pasal 1 butir (4), adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak dengan tanpa dihadiri oleh pihak lainnya.

Dalam hal ini, mediator wajib mendorong para pihak yang bersengketa untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak। Dalam proses mediasi ini, sebagaimana diatur dalam pasal 10, seorang mediator--atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum--dapat mengundang seorang atau lebih ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat membantu para pihak dalam penyelesaian perbedaan. Semua biaya jasa seorang ahli atau lebih ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan.

Proses mediasi ini, sebagaimana diatur oleh pasal 9 ayat (5), berlangsung paling lama dua puluh dua hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukan mediator, dengan atau tanpa adanya kesepakatan antara kedua belah pihak di akhir proses mediasi.

Pasal 11 menyatakan bahwa dalam hal mediasi menghasilkan suatu kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai tersebut dengan ditandatangani oleh para pihak. Kesepakatan yang dirumuskan oleh kedua belah pihak tersebut wajib memuat klausul pencabutan perkara atau pernyataan bahwa perkara telah selesai. Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator wajib memeriksa materi kesepakatan untuk menghindari adanya kesepakatan yang bertentangan dengan hukum.

Setelah proses mediasi selesai para pihak wajib menghadap kembali pada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan telah dicapainya kesepakatan. Atas pemberitahuan akan adanya kesepakatan tersebut, hakim dapat mengukuhkan kesepakatan sebagai suatu akta perdamaian.

Pasal 12 menyatakan bahwa dalam hal mediasi tidak dapat menghasilkan suatu kesepakatan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, yaitu 22 (dua puluh dua) hari kerja sejak pemilihan atau penetapan penunjukan, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal untuk mencapai kesepakatan dan memberitahukan kegagalan proses mediasi tersebut kepada hakim.

Segera setelah menerima pemberitahuan akan gagalnya proses mediasi tersebut, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan Hukum Acara yang berlaku. Dalam hal ini, pasal 13 menyatakan bahwa jika para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak dalam proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan atau perkara lainnya. Fotocopy dokumen dan notulen atau catatan-catatan yang ditulis oleh mediator wajib dimusnahkan. Mediator juga tidak dapat diminta menjadi saksi dalam proses persidangan perkara yang bersangkutan.


E. Beberapa Catatan Mengenai Regulasi Mediasi di Indonesia

Meski dalam batas-batas tertentu bisa dianggap sebagai sebuah indikasi kemajuan bagi perkembangan mediasi, namun tidak bisa diingkari bahwa regulasi tentang mediasi di Indonesia masih memiliki banyak kekurangan. Bahkan, regulasi mengenai mediasi di Indonesia yang ada dalam UU No. 30 Tahun 1999 dan Perma No. 02 Tahun 2003 bukan saja tidak memadai, melainkan juga nampak rancu. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 1 butir (10) UU No. 30 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa alternative penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, mediasi hanyalah salah satu prosedur penyelesaian sengketa atau beda pendapat di luar pengadilan. Tidak ada penjelasan lebih lanjut karena dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan “cukup jelas”.

Sementara pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 juga mengandung beberapa kelemahan mendasar. Dalam pasal 3 UU tersebut dikatakan bahwa dalam hal suatu sengketa atau beda pendapat tidak dapat diselesaikan, maka suatu sengketa atau beda pendapat tersebut, atas kesepakatan tertulis para pihak, dapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Sedangkan pasal selanjutnya, yakni pasal 4, menyatakan apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli ataupun seorang mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat atau mediator tersebut tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternative penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator. Pertanyaan yang bisa dikemukakan adalah mengapa dalam dua tahapan penyelesaian sengketa tersebut bisa sama-sama menggunakan mediator?

Kelemahan lain mengenai regulasi mediasi adalah persoalan batas waktu. Mengacu pada pada pasal 9 ayat (5) Perma No. 02 Tahun 2003, batasan waktu untuk melakukan mediasi bagi perkara yang sedang disengketakan di pengadilan adalah 22 hari dan setelahnya harus dikembalikan pada proses litigatif di pengadilan. Cukup menarik bahwa Ali Mucyidin, alumnus program magister IAIN Walisongo Semarang, dalam penelitiannya mengidentifikasi beberapa persoalan yang menjadi problem utama penyebab kegagalan para hakim dalam melakukan mediasi. Di antara penyebab kegagalan tersebut adalah persoalan singkatnya waktu yang diberikan. Waktu 22 hari yang diberikan bagi penyelesaian perkara melalui jalur mediasi dirasakan masih kurang.

Di samping itu, regulasi mengenai mediasi yang ada dalam peraturan perundangan lebih banyak mengatur proses pelaksanaan mediasi yang perkaranya merupakan limpahan dari pengadilan yang dalam tradisi mediasi Barat seringkali disebut dengan court mandated mediation. Karenanya, adalah hal yang wajar manakala beberapa kalangan menilai bahwa mediasi semata-mata hanyalah pemberdayaan pasal 130 HIR dan 154 RBg. Hal ini nampak dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai.

Sementara itu, pelaksanaan mediasi atas perkara yang sejak awal diajukan pada lembaga mediasi, yang bukan limpahan dari proses litigasi di pengadilan, tidak banyak diatur dalam peraturan perundangan tersebut. Regulasi mengenai pelaksanaan mediasi di luar pengadilan hanya ditemukan sepintas dalam pasal 6 ayat (7) UU No. 30 Tahun 1999 yang menyatakan adanya kewajiban untuk mendaftarkan kesepakatan tertulis yang dicapai di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan kesepakatan tertulis tersebut. Padahal, melihat kecenderungan menjamurnya pusat-pusat mediasi dan animo masyarakat yang mulai “melirik” mediasi sebagai alternative penyelesaian sengketa di luar pengadilan, sangat sulit untuk menyatakan bahwa fenomena tersebut cukup diatur dengan satu atau dua pasal saja.


E. Penutup

Diterbitkannya peraturan-perundangan yang ada mengenai mediasi memang merupakan sinyal positif bagi perkembangan mediasi di Indonesia. Meski demikian, proses perubahan menuju ke arah yang lebih baik tentu tidak boleh berhenti begitu saja. Melihat banyaknya kekurangan dan kerancuan dalam regulasi mengenai mediasi di Indonesia, nampaknya sudah sedemikian mendesak untuk diterbitkannya peraturan-perundangan yang baru mengenai mediasi yang lebih lengkap, berimbang dan tidak rancu.


















































No comments: